Selasa, 15 Mei 2012

”ILMU DUNYA SEHEBAT APAPUN TAK MAMPU MENGALAHKAN ILMU BATIN”

Wongalus
 WAWANCARA SOSOK GURU KEBATINAN TANAH JAWA: 

”ILMU DUNYA SEHEBAT APAPUN TAK MAMPU MENGALAHKAN ILMU BATIN”

 Sukhoi Superjet 100 dari Russia adalah pesawat penumpang canggih. Namun akhirnya harus menabrak tebing di Gunung Salak  yang memang sering memakan korban. Mari bersama dilihat dari sisi supranatural.
 
Gunung Salak sebenarnya berdiri dengan anggun di wilayah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Gunung ini mengagumkan dan itu sebabnya banyak pendaki gunung yang melakukan pendakian di sana. Sebenarnya gunung itu tidak begitu tinggi yaitu 2.221 meter dibanding dengan pegunungan lain di Jawa yang mencapai 3000 meter lebih. Namun kenapa gunung ini menyimpan misteri kecelakaan-kecelakaan pesawat berujung maut?
 Setidaknya kecelakaan pesawat yang pernah terjadi di sekitar Gunung Salak antara lain Helikopter Sikorsky, Pesawat Cessna, Pesawat Cassa, Pesawat latih jenis Sundowner, Helikopter Puma dan terakhir Pesawat Sukhoi Superjet 100 yang sedang melakukan joy flight saat pengetesan dan promosinya untuk maskapai-maskapai di Indonesia, hilang kontak di kawasan Gunung Salak, Bogor, pada hari Rabu 9 Mei 2012 
Pesawat Sukhoi buatan Rusia kali ini jatuh dengan kondisi mengenaskan. Badan pesawat pecah berkeping-keping. Mirip seperti sebuah gelas yang dilempar ke dinding dengan sangat keras.
 Pesawat tersebut dioperasikan oleh pilot senior terbaik Rusia yaitu Aleksandr Yablontsev, co-pilot Aleksandr Kochetkov. Dan terdapat 45 penumpang, 8 di antaranya merupakan kru asal Russia, 2 orang Italia, satu orang warga negara Perancis dan satu orang warga negara Amerika.
 Tak hanya pesawat, manusia yang sedang mendaki pun terkadang bisa ‘hilang kontak’ di kawasan Gunung Salak. Pada April tahun 1987 lalu, pernah ada pula tujuh pendaki dari siswa STM Pembangunan, Jakarta Timur, ditemukan tewas di kawasan gunung itu. Mereka terperosok ke jurang di Curug Orok yang memiliki kedalaman sekitar 400 meter di punggung gunung.
 Gunung Salak lebih populer sebagai ajang tempat pendidikan bagi klub-klub pecinta alam, terutama sekali daerah punggungan Salak II. Ini dikarenakan medan hutannya yang rapat dan juga jarang pendaki yang mengunjungi gunung ini. Gunung ini memiliki jalur yang cukup sulit bagi para pendaki pemula. Hal ini dikarenakan di jalur yang dilewati jarang ditemukan cadangan air.
 Gunung Salak memiliki keunikan tersendiri baik karakteristik hutannya maupun medannya. Untuk tipe gunung serendah itu, Gunung Salak termasuk memiliki medan yang tergolong sulit ditembus, itu sebabnya gunung ini sangat cocok dijadikan lokasi latihan oleh berbagai kalangan pencinta alam dan militer.
 Di wilayah gunung Salak, untuk mencari sumber mata air saja, pendaki tidak boleh sembarangan mengambilnya dari anak-anak sungai disana karena hampir semua air di sungai tersebut masih mengandung sulfur yang berbahaya untuk tubuh.
Di kawahnya yang juga disebut “kawah ratu” masih terdapat sumber sulfur dan belerang baik berupa gas, uap ataupun kubangan yang panas dan mendidih. Pernah juga siswa-siswa SMP di Jawa Barat dan jjuga masih ada sederet peristiwa di wilayah “kawah ratu” ini yang meninggal dunia. Ini diakibatkan kawah tersebut dapat dengan tiba-tiba mengeluarkan asap belerang yang dapat meracuni paru-paru. Karena kondisi inilah, maka Kawah Ratu dianggap angker dan berbahaya oleh para pencinta alam.
 Masyarakat Sunda yang tinggal di sekitar Gunung Salak meyakini disanalah tempat bersemayam dan turunnya para Batara dari Kahyangan sehingga sering disebut gunung kabuyutan. Peran gunung sebagai kabuyut dapat dilihat dari cerita-cerita rakyat dan juga tuturan para pini sepuh. Gunung Salak ini juga dipercaya merupakan asal usul kehidupan sehingga siapa yang dapat menemukan hakekatnya akan menjadi manusia arif.
 Menurut masyarakat, nama Salak berasal dari Siloka dan salaka yang berarti simbol atau tanda dan juga asal-usul. Masyarakat adat disana periodik menggelar acara-acara ritual seperti seren taun, muludan, yang hakekatnya adalah penghormatan terhadap alam.
 Selain misterius dan memiliki keterkaitan kuat dengan kepercayaan adat, di Gunung Salak ditemukan penemuan arkeologis berupa bebatuan yang berbentuk Punden Berundak dari masa neolithikum atau zaman batu baru di daerah Bogor. Tempat penemuan arkeologis itu sampai sekarang masih terjaga dan terawat dengan baik. Masyarakat meyakini bahwa di tempat tersebut pada masa lalu adalah pusat kekuasaan Sunda pada zaman baheula.
Sedangkan di daerah Girijaya juga selain terdapat batuan berupa Punden Berundak, walau lebih kecil dari yang terdapat di Bogor. Punden berundak yang terdapat di Jalur Girijaya, bila kita hendak mendaki puncak gunung Salak ini, dipercaya juga sebagai petilasan dari Eyang Santri ketika beliau berkhalwat. Di daerah ini juga terdapat makam yang diyakini oleh masyarakat sebagai makam keramat. Pada malam hari, terutama malam-malam tertentu makam dipenuhi peziarah. Makam ini merupakan makan Eyang Santri.
 Siapa Eyang Santri?
Eyang Santri sesungguhnya adalah Pangeran Djojokusumo, kerabat dekat Trah Mangkunegaran, cucu kandung Pangeran Sambernyowo atau Mangkunegoro I dan anak kandung dari putera Sambernyowo yaitu Pangeran Prabuamidjojo.  di masa lalu Keraton Mangkunegaran hubungannya amat dekat dengan Trah Bangsawan-Bangsawan Madura terutama Pamekasan, karena bantuan mereka pada konflik Mataram sebelum Giyanti 1755. Pernikahan ini kerap kali dijodohkan, Pangeran Prabuamidjojo dijodohkan oleh Pangeran Sambernyowo ayahnya, yang juga Mangkunegoro I dengan Puteri Ayu Trikusumo, puteri Pangeran Cakraningrat penguasa Pamekasan, Madura. Dari pernikahan inilah lahir Pangeran Djojokusumo yang sejak lahir memiliki kekuatan daya pikir dan daya batin yang linuwih.
Pangeran Djojokusumo lahir pada tahun 1770, di masa remajanya ia banyak berguru dengan banyak ulama, bahkan ia sampai belajar mengaji dan mendalami ilmu agama di Pasiriyan, Jawa Timur. Semasa muda ia bersahabat dengan Pangeran Sosroningrat dan Pangeran Jungut Mandurareja yang juga merupakan kakak dari Raden Mas Sugandi yang kelak menjadi Pakubuwono V. Adanya hubungan saudara antara Pangeran Djojokusumo dengan Pangeran-Pangeran dari Kasunanan Solo membuat dia semangkin akrab dan bersama-sama belajar sastra Jawa. Raden Mas Sugandi diangkat menjadi Putera Mahkota Pakubuwono sekitar tahun 1811 dan bergelar Adipati Anom Amangku Negoro III. Di masa inilah Pakubuwono IV memberikan latihan bagi Adipati Anom untuk mempelajari seluruh aspek kehidupan masyarakat, susastra dan segala permasalahan social agar kelak menjadi raja ia siap. Adipati Anom dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja dan Pangeran Sosroningrat menyusun dasar-dasar pemerintahan, selain itu Pangeran Djojokusumo diminta bantuannya dalam nasihat-nasihat kepada Putera Mahkota.
Pada tahun 1814 Adipati Anom mencetuskan ide agar dibuat sebuah serat yang mempelajari seluk beluk masyarakat Jawa. Serat ini kemudian diperintahkan kepada satu tim yang terdiri dari : Raden Ronggosutresno yang telah berkeliling Jawa bagian Timur, Raden Ngabehi Yosodipuro II yang amat mengerti Jawa Bagian Barat serta Kyai Muhammad Ilhar yang tau masalah seluk beluk agama, disini kemudian semua fasilitas dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja yang menguasai Perdikan Ngawonggo dan penguasa Klaten saat itu. Disini juga perlu dicatat tambahan-tambahan pihak yang membantu terselesaikannya serat centhini termasuk Pangeran Djojokusumo, masa serat centhini ini semasa dengan terbitnya sastra Serat Suryaraja yang berisi ramalan akan datang masanya Keraton Yogyakarta mengalahkan Keraton Surakarta dan menyatukan kerajaan Mataram ke dalam bentuknya yang semula.
Setelah selesainya Serat Centhini, Pangeran Djojokusumo tertarik dengan cerita-cerita yang diuraikan oleh Raden Ronggosutresno dan Sostrodipuro tentang keindahan Pulau Jawa, akhirnya Pangeran Djojokusumo memutuskan untuk berkeliling Jawa.
Dalam keliling Jawa itu ia menikmati keindahan Pulau Jawa yang ia catat ‘Sebuah Pulau yang teramat indah’. Ia kunjungi seluruh makam-makam keramat, ia kunjungi ulama dan ahli kebatinan dan ‘ngangsu ilmu’. Kemampuan ilmu-nya luar biasa tinggi. Pada tahun 1823 Pakubuwono V sahabatnya itu wafat dia dipanggil pulang ke Solo untuk menjadi penasihat Pakubuwono VI saat itu Pangeran Djojokusumo sedang berada di Sumedang, . Sesampainya di Solo ia merasakan akan ada perubahan besar di bumi Jawa, ia akhirnya bertapa sebentar di sebuah danau bernama Cengklik di pinggiran Kota Solo. Di danau itu ia mendapatkan wangsit bahwa ‘Jawa akan masuk ke pinggir jurangnya, tapi kelak Jawa akan bersinar cerah secerah matahari pagi’. Masa suram inilah yang membuat Pangeran Djojokusumo akhirnya sadar bahwa perang akan diiringi dengan kelaparan hebat.
Pangeran Djojokusumo membaca bahwa ‘sebentar lagi ada perang besar’ yang bisa menjadikan kemungkinan Raja Jawa kembali menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Semarang dan Tuban serta menguasai Surabaya kelak kalau Surabaya bisa ditaklukkan maka impian Sultan Agung akan tercapai dan Mataram kembali mewujud. Tapi apakah keadaan itu bisa terwujud. Pada tahun 1824 Pangeran Diponegoro menonjok Patih Danuredjo di Kepatihan karena persoalan patok jalan yang digunakan Belanda untuk membangun jalan dari Semarang-Yogya, patok jalan itu rencananya akan jadi jalan penghubung ke pusat jalan kota di Banaran, Banaran dijadikan tangsi terakhir Belanda sebelum masuk Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menolak tanahnya dicaplok Belanda tanpa ijin ia akhirnya berkelahi dengan Pangeran Danuredjo dan konflik ini berkembang menjadi perlawanan massa.
Sehabis menonjok muka Patih Danurejo, Pangeran Diponegoro langsung menemui pamannya Pangeran Mangkubumi, pamannya berkata dengan amat hati-hati : “Emosimu akan menjadikan Jawa sebagai lautan darah” lalu Mangkubumi berkata lagi “Tapi kamu akan jadi pahlawan di hati rakyat, bila kamu memulai perang, hubungi banyak ulama, karena ulama-lah yang akan membelamu” dan Pangeran Mangkubumi merekomendasikan agar Pangeran Diponegoro menemui Kyai Abdani dan Kyai Anom ulama paling berpengaruh di Tembayat, Klaten juga menemui Kyai Modjo ulama yang berpengaruh di Modjo, Surakarta.
Pada Mei 1824, Pangeran Diponegoro mulai membangun jaringan ulama dan bangsawan, di Banyumas ia mendapat dukungan para Kenthol banyumasan dan para Bangsawan ningrat, di pesisir timur ia mendapatkan dukungan dari Pangeran Tjondronegoro II yang menguasai Tuban, Sidoardjo dan Mojokerto sementara di Solo ia disuruh bertemu dengan Pakubuwono VI. Pertemuan Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro adalah titik paling penting Perang Jawa 1825-1830, karena dari jaminan Pakubuwono VI, Pangeran Diponegoro percaya diri melawan Belanda dan Antek-anteknya di Keraton Yogya. Pertemuan ini berawal dari kunjungan diam-diam Pangeran Diponegoro kepada Kyai Modjo, yang kemudian Kyai Modjo mengantarkan Pangeran Diponegoro ke rumah Raden Mas Prawirodigdoyo, penguasa Boyolali dan merupakan bangsawan paling radikal di jamannya. Raden Mas Prawirodigdoyo langsung menjamin akan menyediakan pasukan sejumlah 6000 orang yang bisa mendukung Pangeran Diponegoro. Lalu Raden Mas Prawirodigdoyo berkata “Dukungan ini bisa aku lakukan asal ada perintah dari Sinuwun Pakubuwono VI”.
Pangeran Diponegoro akhirnya disarankan untuk bertemu langsung dengan Sinuwun Pakubuwono VI, yang memfasilitasi pertemuan ini adalah Pangeran Mangkubumi, paman Pangeran Diponegoro yang luas koneksinya. Pangeran Mangkubumi menghubungi sahabat lamanya Pangeran Djojokusumo dan meminta Sinuwun agar berkehendak menjumpai Pangeran Diponegoro.
Pangeran Mangkubumi lalu datang ke kota Solo dan berkunjung ke rumah Pangeran Djojokusumo disana hadir Pangeran Jungut Mandurareja yang juga paman Pakubuwono VI, disini Pangeran Mangkubumi menjelaskan seluruh duduk persoalan kenapa Pangeran Diponegoro bermusuhan dengan pihak Kepatihan. Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut memperhatikan dengan seksama cerita Pangeran Mangkubumi, lalu setelah selesai cerita, Pangeran Jungut berkata “Akan ada pencaplokan tanah besar-besaran oleh Belanda untuk kepentingan kekayaan mereka, sekarang masalahnya berani atau tidak orang Jawa melawan orang Hollanda itu?” kata Pangeran Jungut, Pangeran Djojokusumo hanya memejamkan matanya dan mengheningkan jiwanya, lalu tak lama ia membuka matanya dan berkata
“Akan ada banjir darah di Jawa, dan ada gelombang kelaparan tapi setelah itu Jawa akan berjaya, akan menjadi seperti Majapahit. Aku mendukung dimas Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda, tapi kita harus bermain strategis, kalau keponakan-ku Pakubuwono VI ketahuan mendukung Pangeran Diponegoro maka Solo akan dihantam habis, dibikin crah, dibuat huru hara, itu malah memperlemah barisan perlawanan, ada baiknya perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat diam-diam”. Akhirnya Pangeran Djojokusumo meminta agar Pangeran Mangkubumi menunggunya di desa Paras Boyolali, karena ia dan Pangeran Jungut akan mengajak Sinuwun Pakubuwono VI bertapa tiga hari di gunung Merbabu.
Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo bertemu dengan Pakubuwono VI meminta agar Pakubuwono VI mendukung Pangeran Diponegoro, pertemuan ini juga dilanjutkan dengan perjalanan ke gunung Merbabu untuk mengajak Pakubuwono VI bertapa dan menenangkan diri untuk mengambil keputusan, setelah bertapa Pangeran Djojokusumo mengajak Pakubuwono ke desa Paras di Boyolali untuk berjumpa dengan Pangeran Mangkubumi, disinilah kemudian terjadi kesepakatan rahasia dimana Pembesar Yogyakarta dan Pembesar Surakarta sepakat melawan Belanda.
Setelah kesepakatan Paras, Boyolali. Mereka : Pakubuwono VI, Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo serta serombongan pengawal menuju alas Krendowahono di sekitar Karanganyar, disini mereka berjumpa dengan Pangeran Diponegoro yang sudah ditemani Kyai Modjo dan Raden Prawirodigdoyo. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan saling tidak mengganggu antara pihak Solo dengan konflik di Yogyakarta dan apabila Solo diminta membantu Belanda dalam perang nanti, maka Solo akan memberi data-data intelijen kepada Pangeran Diponegoro serta melakukan ‘perang sandiwara’. Disini juga perlu dicatat seorang sastrawan muda bernama Ronggowarsito yang hadir dalam pertemuan di Krendowahono, kelak 20 tahun kemudian Ronggowarsito mencatat peristiwa ini sebagai bentuk rasa kebangkitan harga diri orang Jawa.
Singkatnya Perang Diponegoro meletus, ditengah Perang ketika Lasem berhasil direbut Sang Pangeran, ada pertemuan lanjutan yang membahas penghadangan pasukan di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo. Suatu malam Pangeran Diponegoro datang ke Keraton Surakarta, namun rencana ini bocor karena ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda akan ada tamu dari Yogya tengah malam, pasukan Belanda datang mengepung Keraton dan mencari tamu itu, namun tidak ketemu, Kereta kuda Pangeran Diponegoro rupanya dipendam oleh prajurit Keraton dan Pangeran Diponegoro meloncati tembok alun-alun utara lalu berlari ke arah Pasar Kliwon dan bersembunyi di sana sampai lima hari.
Perang Diponegoro akhirnya selesai dengan kekalahan banyak pihak, Pakubuwono VI ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh Residen Semarang yang menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya. Pangeran Djojokusumo juga dicurigai terlibat oleh Belanda, namun Pangeran Djojokusumo akhirnya melarikan diri ke Bagelen lalu ke Cilacap, disinipun ia dikepung banyak pendukung Belanda dan dengan menyamar sebagai petani ia ke Sukabumi tepatnya ke desa Cidahu, disana ia menyamar sebagai petani cabe dan petani sawah, ia juga mengajar mengaji penduduk sana.
Di Cidahu, Pangeran Djojokusumo dipanggil eyang santri. Setelah Perang Diponegoro lama usai, di tahun 1850 datanglah beberapa orang santri utusan dari Solo yang mencari Pangeran Djojokusumo mereka meminta Pangeran pulang ke Solo, tapi Pangeran menolak dan memilih menjadi petani saja di desa Cidahu. Sejak itu Eyang Santri dikunjungi banyak pejuang dan aktivis politik yang menentang Belanda.
Usia Eyang Santri mencapai 159 tahun. Ia menjadi saksi berlangsungnya kekalahan Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan. Ia dikunjungi banyak ahli kebatinan dan para pemimpin politik. Di tahun 1880-an ia dikunjungi oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi jaman modern. Pada suatu pagi Wahidin naik gunung salak dan berupaya menemui Eyang Santri, setelah dirumah eyang Santri, Wahidin disuruh mandi di kolam air panas dan bermeditasi.
Disana juga eyang santri mengajarkan tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin. Dari dasar-dasar yang ditanamkan Eyang Santri-lah maka Wahidin merasa kuat membangun rasa kebangsaan sebuah bangsa yang baru bangsa Indonesia. Selain Wahidin yang kerap datang ke rumah Eyang Santri adalah Dirk Van Hinloopen Labberton ahli teosofi Belanda yang belajar filosofi kebatinan Jawa.
Di awal tahun 1900-an HOS Tjokroaminoto dengan ditemani Sosrokardono juga kerap mampir ke rumah eyang santri, bahkan pembentukan afdeeling A Sarekat Islam di Garut mereka minta doa restu kepada Eyang Santri yang menanamkan rasa kebangsaan dan harga diri manusia untuk bebas. Pangeran ahli sufi dari Yogyakarta, Pangeran Suryomentaram juga pernah datang ke Cidahu, waktu itu ia masih amat muda, begitu juga dengan ahli tirakat Ndoro Purbo dan Drs. RMP Sosrokartono, ahli kebatinan Jawa sekaligus kakak Raden Ajeng Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono datang berguru ke Eyang Santri.
Bung Karno sendiri diajak oleh Tjokroaminoto ke Cidahu sebelum Bung Karno masuk ke THS (sekarang ITB) Bandung, setelah masuk ke THS beberapa kali Bung Karno datang menemui Eyang Santri dan digembeleng kekuatan batin untuk melawan Belanda.
Eyang santri wafat tahun 1829 di usianya yang 159 tahun. Itulah jasa Eyang sebagai guru sesepuh kebatinan para pejuang masa lalu kita.
Berikut wawancara imajiner saya dengan Eyang Santri:  
 Wongalus: Assalamualaikum
Eyang santri: Waalaikum salam wr wb.
 Wongalus: Sugeng siang, Rahayu Eyang… Mohon perkenaan eyang saya ingin menghadap untuk mohon wejangan dan pitutur.
 Eyang Santri: ya le silahkan….
 Wongalus: Eyang adalah guru para sesepuh kebatinan tanah Jawa, apa yang sesungguhnya terjadi dalam musibah jatuhya pesawat Sukhoi?
 Eyang Santri: Kesombongan di hati pilot dan manusia umumnya. Merasa hebat dengan ilmu-ilmu dunya sehingga mendapatkan celaka karena melanggar hukum alam, jadi alam yang mengingatkan mereka
 Wongalus: Apakah itu berarti ada yang dilanggar saat pesawat melintas diatas Gunung Salak?
 Eyang Santri: Pasti le.. pilot harusnya mengucapkan salam kepada semua penghuni gaib diwilayah ini dan itu tidak dilakukan. Di hati Pilot ada kesombongan dirinya punya banyak pengalaman dan di atas gunung yang kujaga ini malah ingin mempertunjukkan kesombongannya.
 Wongalus: lalu apa yang terjadi eyang?
 Eyang Santri: Sebenarnya sudah ada penghuni gaib masuk ke batin pilot untuk mengingatkan dan menyarankan agar pilot mengucapkan salam takzim kepada penghuni goib disemua wilayah bumi khususnya di wilayah gunung salak saat melintas di atasnya. Namun di batin pilot menolak memberi salam, awalnya perang batin terjadi pada diri pilot itu.
 Wongalus: selanjutnya?
 Eyang Santri: Pilot malah ingin mempertontonkan kepintarannya menyetir pesawat, ia turunkan pesawat dari ketinggian dan akhirnya menabrak gunung yang kami jaga ini. Kesombongan pilot membuat penghuni goib disini tersinggung dan mengganjarnya dengan musibah. Tamu harus tahu sopan santun.
 Wongalus: Astaghfirullahaladzim… korban telah jatuh eyang
 Eyang santri: Semoga Gusti Allah memberi tempat terbaik sesuai dengan amal perbuatan mereka. Bagi keluarga yang ditinggalkan, sabar dan tabah karena ini sudah takdir.
 Wongalus: Apa yang bisa kita ambil hikmah dan manfaat dari kejadian ini, eyang?
 Eyang Santri:  sehebat apapun ilmu dunya, tak akan mampu mengalahkan kekuatan alam dan kekuatan batin bangsa kita. Kita ini bangsa yang unggul karena disinilah kawah candradimuka dan sebagai pendidikan kekuatan batin manusia. Maka kalau ingin selamat dunia akhirat, pelajari dan kemudian olah batinmu dengan laku tirakat agar menjadi tajam akan tanda-tanda kekuasaan Gusti Allah. Gusti Kang Murbeng Dumadi, Sang Pencipta Alam semesta. Hargai dan hormati alam ciptaan Allah baik yang nyata maupun yang goib, jangan sekali kali merusak dan menunjukkan kesombongan karena nanti ada hukum karma sebab dan akibat.
 Wongalus: Terima kasih Eyang, petuah dan wejangan eyang ini akan bermanfaat bagi kami. Sungkem saya untuk semua sesepuh penghuni goib yang ada di sana.
 Eyang Santri: ya le… semoga yang membaca tulisanmu mendapatkan pelajaran kejadian ini.
 Wongalus: Assalamualaikum
 Eyang Santri: Waalaikumsalam wr wb

Rabu, 18 April 2012

Benarkah Budha Penyembah Berhala

“ Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa”

( tikkhattum ; 3X )
Nammatthu Buddhassa,
Salam Damai dan Cinta Kasih … ,

Artikel ini saya buat untuk menjawab banyak tudingan-tudingan dari masyarakat kebanyakan, yang menyatakan bahwa ummat Buddha adalah penyembah berhala. Artikel ini juga bertujuan mengingatkan, sebelum anda mencap suatu praktik keagamaan, sebaiknya anda pelajari dulu, anda mengerti dulu, apa yang dipraktikkan tersebut.

Bagaimanapun, tudingan-tudingan yang menyudutkan bahwa orang lain mempraktekkan penyembahan berhala, adalah tudingan yang cukup menyakitkan hati bagi orang-orang yang disudutkan tersebut. Semoga, dengan artikel ini, tidak ada lagi yang saling menuding bahwa seseorang penganut kepercayaan yang berbeda dengan dirinya, sebagai penyembah berhala, hanya karena terdapatnya simbol-simbol keagamaan mereka.

MEJA PUJA

Meja Puja di rumah

Diatas itu , adalah Meja-Puja yang ada dirumah tempat tinggal saya. Di ruangan tersebut, didepan meja-puja itu, saya biasa menghabiskan waktu selama 3-4 jam, sekitar jam 20.00 WIB s/d 24.00 WIB , untuk melakukan Puja-Bhakti setiap harinya. Rutinitas saya , adalah chanting / membaca Paritta selama satu jam, kemudian melakukan Bhavana ( pengembangan batin ) / samadhi selama 3 jam sisanya. Atau, terkadang tanpa chanting, hanya vandana, namakara-gatha, puja-gatha, Pubbabhaganamakara, dan Tisarana, kemudian saya lanjutkan dengan samadhi selama 3-4 jam.

Buddha-rupam ( Rupam = rupa, wajah, image ; Buddha-rupam = Image Sang Buddha ) yang di meja teratas, adalah Buddha-rupam dari Thailand, berlapis emas. Buddha-rupam itu menggambarkan posisi Sang Buddha sesaat setelah mencapai Pencerahan Sempurna, Beliau berdiam di tepi danau Muccalinda selama tujuh hari dan kemudian Raja Naga yang tinggal di dasar danau tersebut ingin melakukan persembahan yang berharga pada Sang Buddha, dengan melingkari tubuh Sang Buddha sebanyak tujuh lingkaran dan menaungi Sang Buddha dengan tujuh-kepalanya, dengan tujuan melindungi Sang Buddha dari hujan lebat selama tujuh hari berturut-turut ( hujan ini hanya terjadi pada dua peristiwa ; 1. Saat munculnya Raja-Dunia ; 2. Saat munculnya seorang Samma-Sambuddha ). 

Bantalan untuk duduk Samadhi di Ruang Puja-'ku'  

Buddha-rupam tersebut ( juga yang kecil, yang di meja lebih rendah. Buddha-rupam yang kecil itu berasal dari India ), merupakan pemberian seorang bijak dan bajik, sebagai hadiah untuk saya, sebagai cindera mata Beliau dari negeri Thailand dan India. Yah, semacam oleh-oleh… Daripada oleh-oleh berupa benda-benda yang tidak bermanfaat, maka saya memilih oleh-oleh berupa Buddha-Rupam yang berguna dan menunjang rutinitas saya berpuja-bhakti dan samadhi setiap harinya.

Pernak-pernik di atas meja Puja itu bukannya tanpa makna, semuanya memiliki makna sendiri-sendiri. Ada tiga elemen utama dalam meja-puja, yaitu : Nyala-api, Bunga, dan Dupa.

1). Nyala api lilin, melambangkan kebijaksanaan, pencerahan, yang melenyapkan kebodohan batin, kegelapan. Sembari menyalakan api lilin, siswa Sang Buddha bertekad dalam hati, untuk mampu melenyapkan kebodohan batin dan mencapai Pencerahan-Sempurna.

2). Bunga ; Bunga melambangkan harta dunia yang diinginkan para makhluk, sebab nampak indah, menyenangkan indera, berbentuk indah, berbau harum, bertekstur halus / lembut, dan mempunyai sari-sari bunga yang manis. Melalui bunga tersebut, siswa merenungkan dalam batin, bahwa meskipun bunga ( keduniawian ) nampak indah dan menyenangkan, namun patut direnungkan dengan bijaksana, bahwa semua hal di dunia ini, sesungguhnya bersifat tidak-kekal ( anicca ), dan karena tidak kekal maka menyebabkan timbulnya derita, kesedihan ( dukkha ), dan tiadanya inti-diri yang abadi disana ( An-atta ). Saat meletakkan bunga-bunga di meja Puja, siswa Sang Buddha merenungkan ketiga hal tersebut, “Anicca, Dukkha, Anatta”.

3). Dupa ; Dupa ini melambangkan harumnya kebajikan, moralitas, pengendalian batin / pikiran, dan kebijaksanaan yang mempesona dan menyebar kemana-mana. Para Bijaksana, dikenal, dikenang, tak terbatas ruang dan waktu, selama berabad-abad, diseluruh penjuru dunia, kebajikan-moralitas-pengendalian batin-kebijaksanaannya, dipuji oleh para makhluk. Mengenai hal ini, Sang Buddha menggambarkannya dalam syair berikut ini :

“ Appamatto ayam gandho,
Yayam tagaracandani
Yo ca silavatam gandho,
Vatti devesu uttamo.
( Dhammapada; IV-13 ; Puppha-Vagga ) “

Arti :
“ Tak seberapa harumnya bunga melati dan kayu cendana,
Jauh lebih harum mereka yang memiliki Sila ( Moralitas, kebajikan ),
Nama harum mereka tersebar diantara para Dewa di alam Surga. “

APAKAH UMMAT BUDDHA PENYEMBAH BERHALA ?

Maggha-Puja di Vihara Watu Gong

“Penyembah-Berhala!”, kalimat ini selama berabad-abad telah menjadi senjata yang ampuh untuk mendiskreditkan suatu agama tertentu beserta para penganutnya. Bukan hanya agama Buddha dan para ummatnya yang sering mendapat ‘tudingan’ kejam seperti ini, tetapi agama-agama yang lainnya pun banyak juga ( misal ; agama Katholik, Hindu, dan lain-lainnya ). Agaknya kita harus dengan kepala dingin dan hati yang terbuka, menelaah secara kritis akan hal ini.

Pemujaan terhadap “berhala” yang dimaksudkan tersebut ( yang sering dituding-tudingkan ) , secara umum berarti, pemujaan terhadap sebuah benda ( patung, tugu-batu, batu-batu bertuah, dan segala bentuk benda yang lainnya ) dalam berbagai bentuk dan ukuran dan berdoa secara langsung terhadap benda-benda tersebut seolah-olah benda tersebut adalah Tuhan Yang-Maha-Kuasa itu sendiri. Doa-doa yang diuncarkan itu berisi permohonan, ratapan, keluh-kesah, yang ditujukan terhadap “Tuhan” yang termanifestasi dalam benda itu, dengan harapan semua permohonan itu dikabulkan.

Nah, apakah Buddha-Rupam adalah berhala ? Melihat pengertian pemujaan berhala tersebut, maka, Buddha-Rupam BUKAN – BERHALA, dan puja kepada Buddha-Rupam, bukanlah suatu bentuk pemujaan kepada Berhala, sebab ;

1. Buddha-Rupam, bukanlah benda / image yang menggambarkan sosok TUHAN.

2. Tidak ada DOA-DOA yang berisi permohonan, ratapan, keluh-kesah, yang ditujukan pada Buddha-Rupam tersebut.

Poster di ruang Puja di rumah saya
Mungkin anda ada yang bertanya, “ Lalu, apakah isi Sutta-sutta yang diuncarkan waktu ber-Puja-Bhakti ?”. 

Yang harus diketahui, Sutta, BUKANKAH DOA. Sutta, berbeda dengan DOA.

Sutta, artinya adalah “Khotbah”, ia merupakan Sabda Sang Buddha yang berisi ajaran-ajaran Sang Buddha selama 45 tahun Beliau mengabdi pada semua makhluk demi menunjukkan jalan untuk terbebas dari ( minimal ) empat-alam menyedihkan ( yaitu ; neraka, binatang, alam para hantu ( peta ), dan alam para Jin dan raksasa ( Asura ) ) , dan ( maksimal ) demi tercapainya realisasi Nibbana, pembebasan sempurna dari samsara, terbebas dari arus tumimbal lahir di alam manapun juga. Pembacaan Sutta ini, mempunyai tujuan, untuk semakin menghayati ajaran Sang Buddha, bukan untuk meratap dan memohon permohonan-permohonan seperti rejeki, jodoh, dan lain-lain hal duniawi.

Misalkan saja, Karaniyametta-Sutta. Ini adalah Khotbah tentang Kewajiban dan Cinta Kasih. Berisi anjuran-anjuran Sang Buddha tentang apa yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan, untuk mencapai ketenangan. Anjuran ini sangat jelas terlihat dari awal khotbah tentang kewajiban dan cinta-kasih ini :

“ Inilah yang harus dikerjakan,
Oleh ia yang tangkas, dalam hal yang berguna,
Yang mengantar ke jalan pencapaian ketenangan,
Ia harus mampu, jujur, sungguh jujur, 
Rendah hati, lemah-lembut, tiada sombong… ,

Merasa puas, mudah dilayani,
Tiada sibuk, sederhana hidupnya,
Tenang inderanya, berhati-hati,
Tahu malu, tak melekat pada keluarga-keluarga.

Tak berbuat kesalahan walaupun kecil,
Yang dapat dicela oleh Para Bijaksana,
Hendaklah ia berpikir : 
“Semoga Semua Makhluk Berbahagia dan Tenteram,
Semoga Semua Makhluk Berbahagia!”

Nah, dari cuplikan Karaniyametta-Sutta tersebut, jelas terlihat tidak ada ratapan-ratapan dan permohonan yang ditujukan kepada Buddha-rupam dan Sang Buddha, bukan ? Demikian pula dengan semua Sutta-sutta dalam kitab agama Buddha. Semua berisi ajaran-ajaran Sang Buddha, dalam bahasa Pali, dibaca untuk diresapi, dihayati, ditemukan manfaat sari pati ajarannya untuk dipraktekkan.

Sekarang, mari kita bandingkan isi SUTTA tersebut dengan DOA, yang umumnya masyarakat non-Buddhis mengenalnya. Umumnya, doa akan berbunyi dan berisi hal-hal seperti dibawah ini :


“ Ya Tuhan Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang… ,
Segala Puji Bagi – Mu , Tuhan, Penguasa Alam Semesta,
Hanya pada-Mu kami menyembah, dan hanya padamu kami MEMOHON PERTOLONGAN, Ya Tuhan Yang Maha Perkasa.., 

Ya, Tuhan, Yang Maha Agung..,
Tunjukkanlah kami Jalan kenikmatan yang engkau berikan pada mereka yang Engkau kasihi, bukan jalan kecelakaan yang Engkau berikan terhadap mereka yang Engkau MURKAI… .

Ya Tuhan, bukakanlah pintu Rejeki untuk Kami,
Pertemukanlah kami dengan jodoh-jodoh kami 
Yang telah Engkau siapkan, Ya Tuhan…,
Ampunilah kesalahan kami,
Terimalah seluruh amal perbuatan baik kami, Ya Tuhan..,
dst.”

Doa, selalu didahului dengan puja dan puji kepada Tuhan, lalu diikuti oleh berbagai bentuk ratapan dan permohonan, permintaan tolong, harapan untuk dibantu memperoleh jalan keluar, dan lain-lain sebagainya. Sedangkan Sutta , yang diuncarkan para siswa Sang Buddha, berisi tentang pokok-pokok pelajaran yang diberikan oleh Sang Buddha, untuk dihayati, semakin diperdalam, demi tercapainya kemajuan spiritual.

Karena masyarakat umumnya terbiasa diajari doa-doa, yang isinya adalah ratapan-ratapan kepada Tuhan, lantas menyamaratakan bahwa apa yang dibaca dalam Paritta / Kitab-Kitab agama Buddha [terutama ketika ber-Puja Bhakti di depan meja Puja ] adalah sama dengan apa yang mereka baca.

FUNGSI BUDDHA-RUPAM

Meja Puja Bhakti di Rumah

Buddha-Rupam, atau image-Buddha, berfungsi sebagai alat bantu visual yang membantu seseorang mengingat Sang Buddha dan sifat-sifat luhur-Nya yang menginspirasi milyaran makhluk dari generasi ke generasi berikutnya sepanjang sejarah peradaban dunia.

Buddha-Rupam juga berfungsi sebagai objek-samadhi, yaitu saat melakukan samadhi dengan objek Buddhanussati. Meditasi dengan objek keluhuran dan sifat serta Guna dari Sang Buddha, akan semakin memperteguh semangat untuk menempuh kehidupan suci, dengan meneladani Sang Guru Agung itu sendiri, yang menunjukkan Jalan menuju kesucian dan pembebasan.

PATUNG-PATUNG DALAM AGAMA-AGAMA DILUAR BUDDHA-DHAMMA

Sesungguhnya, diluar agama Buddha, semua agama menggunakan suatu objek benda sebagai suatu sarana visual dan material untuk ber-religi, termasuk untuk melakukan ritual penguncaran doa-doa. Dan hal ini, menurut hemat kami, adalah wajar-wajar saja. Sebab, manusia mempunyai akal-pikiran, dan objek-objek tersebut merupakan bentuk ekspresi manusia terhadap sesuatu yang ia sebut “sakral”.

Di dalam agama Hindu, banyak terdapat patung Dewa, baik Dewa Brahma, Wisnu, maupun Siwa. Dan masih banyak lagi patung-patung. Semua patung-patung itu, merupakan simbol dari Tuhan, manifestasi dari Tuhan itu sendiri.

Di dalam agama Katholik, banyak terdapat patung-patung, seperti patung Tuhan Yesus Kristus, patung Bunda Maria, serta patung para suciwan lainnya.

Didalam agama Kristen, meskipun di”haram”kan adanya patung-patung, namun mereka mempunyai lambang “Salib” , sebagai objek / image dari kekudusan, kerohanian, atau sesuatu yang “absolut” itu sendiri.

Di dalam Islam, agama yang sangat mengharamkan adanya objek-objek pemujaan, mempunyai sebuah objek lambang-suci mereka , yaitu Ka’Bah, atau rumah-Tuhan. Menurut sejarahnya, di dalam Ka’Bah dulunya terdapat tiga ratus enam puluh (360 ) patung, dan sudah disingkirkan semua oleh Nabi Muhammad SAW. Diluar Ka’Bah terdapat Batu Hajar Aswat , yang dipercaya sebagai batu bertuah dari surga. Hingga kini, ummat Islam sedunia, bila sholat , dan juga saat-saat berdoa, memohon suatu berkah, selalu menghadap KIBLAT, yaitu arah menuju rumah-Tuhan itu, Ka’Bah, di Mekah di tanah-Arab. Selain itu, juga terdapat seni Kaligrafi yang menggambarkan religiusitas mereka, dan seni ini sangat terkenal dan digemari karena keelokannya.

Di dalam Agama TAO, terdapat patung-patung Dewa, seperti Dewa Bumi, Dewa Langit, Dewa Naga, Dewa Kekayaan, Dewa Kesehatan, dan lain-lain patung Dewa, yang kesemuanya berfungsi sebagai sarana untuk mengajukan permohonan kepadanya.

Di dalam Kejawen, terdapat Keris-Keris, batu-batu bertuah, jimat-jimat, beberapa jenis patung, lukisan-lukisan Dewa tertentu, seperti Semar, Ratu Kidul, dan lain-lain. Ummat Kejawen, juga melakukan doa-doa serta ritual-ritual kepada Tuhan , karena mereka merupakan “Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan YME ” . ( Misal, dengan doa-doa seperti, “Duh Gusti Ingkang Maha Agung, Ingkang Murbeng Dumadi, Ingkang Maha Kuwaos…, Kula Nyuwun Gunging Pangapunten, Gunging Pangaksami… , Nyuwun Sih Pitulungan Panjenengan , duh Gusti Pengeran…dst.” ).

Melihat betapa universalnya tradisi patung-patung / objek-objek suci bagi ritual sebuah agama di berbagai agama tersebut , lalu, adakah yang salah ? Tentu tidak. Adakah yang paling benar ? Artinya, bahwa hanya ada satu patung saja yang boleh disembah, sedang yang lain harus dihancurkan ? Egois sekali bila begitu.

Jika ada ummat Buddha yang melakukan hal memalukan tersebut ( menghancurkan patung-patung diluar Buddha-Rupam ), maka ia bukanlah seorang pengikut Sang Buddha, karena ia ‘egois’, ‘biadab’, menghancurkan suatu ‘keindahan’ , keelokan, ragam budaya dari pihak lain ( agama lain ) , yang sesungguhnya memperkaya khazanah peradaban dunia. Orang-orang seperti ini, ( yang suka menghancurkan patung-patung dari agama lain, dan menganggap hanya patung dalam agamanya sajalah yang boleh ada dan boleh disembah ) layaknya disadarkan, bahwa patung miliknya ( bagi ummat Buddha, tentu saja yang dimaksud adalah Buddha-Rupam ), bukanlah satu-satunya patung yang boleh ada, yang boleh dipuja, dan yang harus menjadi satu-satunya didunia yang di”sakral”kan.

SIAPA YANG SELAMA INI MENYEMBAH BERHALA ??

Persiapan Magha Puja di Vihara Watugong
Dengan menelaah hal-hal diatas, lalu, kita sekarang bisa bertanya, “Siapakah sesungguhnya yang selama ini MENYEMBAH BERHALA ?? “ Predikat “pemuja-berhala” sangatlah tidak tepat diberikan kepada ummat Buddha, dan tidak tepat pula diberikan pada ummat agama apapun. Pemberian predikat seperti itu sangatlah kejam, tidak manusiawi, melukai hati nurani setiap ummat yang memegang teguh kepercayaannya.

Sesungguhnya, semua agama sama-sama mempunyai objek / simbol religinya masing-masing, bahkan hampir semuanya memiliki suatu “objek” visual pemujaannya sendiri-sendiri, yang patut dihormati oleh semua pihak, baik ummat agama tersebut maupun ummat agama lainnya. Bagi kami, ummat Buddha, itu semua bukanlah masalah, dan bukan hak kami untuk menghakimi dengan tudingan-tudingan yang menyakitkan seperti yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Semoga dengan artikel ini, tidak ada lagi tuding-menuding yang berjudul “Penyembah-Berhala” tersebut,sadhu…sadhu…sadhu… .

“ Sabbe Satta Sukhita Hontu, Nidukkha Hontu, Avera Hontu, Abyapajjha Hontu, Anigha Hontu, Sukhi Attanam Pariharantu”

( Semoga Semua Makhluk Berbahagia, Bebas dari Penderitaan, Bebas dari Kebencian, Bebas dari Kesakitan, Bebas dari Kesukaran, Semoga Mereka dapat Mempertahankan Kebahagiaan Mereka masing-masing )

By : RATANA-KUMARO ( Ratna Kumara )

Sabtu, 14 April 2012

Pemahaman Yang Dinamis Mengenai Alqu'an Dan Al hadist

Keyakinan, akidah, dan pemikiran kita itu sesungguhnya dinamis. Cara kita memahami sebuah ayat Allah saja bisa terus berkembang: Misalkan, dulu saya memahami bahwa “Inna diena indallahil Islam” itu sebagai petunjuk bahwa yang diterima di sisi Allah itu hanyalah orang yang beragama Islam…dengan kata lain, mereka yang Hindu, Budha, Kristen, dll…bagaimanapun baiknya akhlak mereka..karena akidah mereka salah, mereka pasti masuk neraka, tak diterima di sisi Allah. Namun…seiring dengan perjalanan waktu, saya menyadari bahwa pemahaman seperti itu sungguh naif dan gegabah. Kini, saya memahami ayat itu dengan cara yang berbeda: Bahwa sesungguhnya, sikap beragama yang diterima oleh Allah itu, adalah sikap beragama yang penuh ketundukan kepada Kebenaran (Al Haq) dan sekaligus membawa keselamatan (baik kepada diri sendiri, kepada orang lain, juga kepada lingkungan hidup kita..). Setiap orang yang beragama dengan cara demikian, tak peduli dia itu secara lahiriah adalah Budha, Kristen, atau Kejawen, pasti bisa sampai kepada Sangkan paraning dumadi (yaitu Gusti Allah). Apakah pemahaman seperti saya ini sesuatu yang bid’ah atau mengada-ada? Sebetulnya, kalau Kita pelajari, orang seperti Nurcholis Madjid, A. Syafii Maarif, Gus Dur, memahami seperti itu. Termasuk, yang punya pemahaman seperti itu adalah para ilmuwan Islam klasik seperti Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Mansyur Al Halaj, dll.

Saya beriman sepenuhnya kepada Allah, kepada Al Haq, kepada Al-Latief…Dzat yang Menggenggam Jiwa saya. dan saya berusaha tunduk patuh sepenuhnya kepada Dia, Namun, ekspresi atau manifestasi keimanan itu yang mungkin berbeda satu sama lain. Misalnya begini,tunduk kepada Allah itu, tak sama maknanya dengan meyakini atau menerima begitu saja ayat-ayat dalam Al Qur’an secara harfiyah. Allah yang Ahad itu tak bisa disekutukan, termasuk dengan Al Qur’an. Al Qur’an itu hanyalah salah satu tanda-tanda kebenaran, tapi bukan Al-Haq itu sendiri. Sementara itu, sesungguhnya di jagad raya ini bertebaran tanda-tanda kebenaran yang lain, dan itu mencerminkan sifat Allah sebagai Dzat Yang Maha Agung….yang Maha Besar…yang sungguh lisan dan pikiran ini tak bisa membatasi-Nya.

Saya telah belajar, bahwa menerima makna harfiyah Al Qur’an, kadang memang bisa menyesatkan…Pada faktanya…..sebagai contoh bahwa kadang Al Qur’an justru “menyesatkan” adalah dengan melihat perilaku mereka yang melakukan tindakan teror…seperti Imam Samudera, Amrozi Cs….atau mereka yang membakar Masjid milik Jemaat Ahmadiah baik di Indonesia maupun di Pakistan….itu merasa meyakini Al Quran dengan sepenuh hati. Mereka mengklaim tindakan mereka didasarkan pada Al Quran….dan faktanya, memang banyak ayat Al Qur’an yang secara harfiyah memuliakan jihad melawan kaum kafir…(dan mereka dengan sederhana memaknai bahwa merekalah yang mu’min, dan orang2 di luar mereka, khususnya yang beragama lain itu sebagai kafir…dan karena itu halal diperangi), apakah mereka itu benar-benar mengimani Al Qur'an? Atau mereka itu salah dalam memahami Al Qur’an? Jika mereka benar, apa argumentasinya? Jika Kita katakan mereka salah, atas dasar apa pula kita bisa mengatakan bahwa pemahaman mereka itu salah? yang jelas mereka itu hanya memahami makna harfiyahnya alqur'an. 

Jika memang Al Qur’an dan Al Hadits itu pasti membawa pada kebenaran…tentulah umat islam sendiri tak akan berpecah belah seperti sekarang dan terlibat dalam pertikaian yang panjang. Coba Kita lihat, bagaimanakah sosok seorang Murtadha Muthahari di mata Kaum Wahabi? Seseorang yang oleh sebuah kelompok dipandang mulia, oleh kelompok lain bisa dipandang hina…padahal kedua kelompok itu sama-sama mengaku kembali kepada Al Qur’an dan Al hadits.

Dan sebetulnya, kita bisa melihat fenomena yang aneh semenjak masa awal sejarah Islam. Coba beri saya penjelasan…bagaimana mungkin seorang menantu nabi sekaligus sepupu terkasih nabi Muhammad, yaitu Imam Ali, bisa berperang dengan Ummul Mu’minin Aisyah…dalam perang Jamal? Dan bacalah dalam berbagai kitab sejarah, betapa perang itu demikian sengit, memakan korban banyak sekali, dan tak sedikit manusia ternistakan. Menurut kita, siapa di antara mereka yang bertikai itu yang mengikuti Al Qur’an dan Al hadits? Salah satunya? Yang mana? Atau dua-duanya? Jika dua-duanya, maka kita bisa “meneladani” mereka: ikhtilaf dalam pemahaman terhadap Al Qur’an dan Al Hadits “harus” diselesaikan lewat peperangan!!

Akhirnya, saya berkesimpulan, bahwa pemahaman kita terhadap Al Qur’an dan Al hadits, kadang bisa menjadi ilusi, sesuatu yang menyesatkan, membuat kita justru bisa makin jauh dari kebenaran itu sendiri. Mengapa itu terjadi? Karena kita yang mencoba memahaminya ternyata masih kotor hatinya…masih diperangkap oleh hawa nafsu…belum suci!

Karena itu…..sungguh bijaksana jika kita terus berupaya mensucikan diri kita, memperbaiki laku lampah kita, sehingga pada akhirnya, pemahaman kita terhadap semua ayat Tuhan itu bisa kian mendekati kebenaran yang sejati. Nah, selama proses perjalanan kita ke arah itu, sungguh bijaksana juga jika kita menjadi tawadhu…dan bisa menghargai proses perjalanan setiap orang, termasuk jalan yang ditempuh setiap orang.

Akhir kita, saya bersaksi bahwa Cahaya di Atas Cahaya itu hanyalah Gusti Allah itu sendiri, Tuhan itu sendiri (dan Dia juga yang disebut dengan Hyang Widhi, God, atau apapun…)
Sementara Al Qur’an dan al Hadits…tak lebih dari petunjuk terhadap kebenaran. Setara dengan dedaunan….gunung..lautan…termasuk setara dengan segenap kebenaran yang muncul dari hati nurani siapapun!

Sekali lagi….Al Qur’an dan Al Hadits itu bagi saya tak lebih dari dilalah atau petunjuk untuk menemukan kebenaran (Al Haq) tapi bukan Al Haq itu sendiri.

Arwah Ft Software

Guru sejati tidak ubahnya rasa sejati… (sang hidup/nyawa). Dia ibarat sumberdaya (kalau komputer ya sumber listriknya agar komputer bisa hidup). Jika Sang Pencipta diibaratkan matahari, maka rasa sejati adalah sinarnnya yang menerangi dunia, di mana sinar itu berwujud rasa sejati pada semua makhluk hidup tanpa terkecuali.

Sementara sukma adalah sebuah ‘materi gaib’ (atau biasa disebut roh) yang terbentuk dalam diri manusia, yang berfungsi sebagai software bagi perangkat keras (otak, tangan, kaki, mata, hidung dsb).

Maka jika ada orang yang bisa ilmu raga sukma, maka sukmanya bisa keluar dari tubuh, namun tubuh orang tersebut tidak mati, alias masih bernapas. Ini yang keluar adalah sukmanya, bukan rasa sejatinya. Atau orang yang mati koma, maka sukmanya atawa softwarenya tidak bisa bekerja sempurna, meski hardwarenya masih lengkap, namun dia tetap bisa bernapas.

Otak adalah hardware, sementara akal pikiran adalah softwarenya, mata adalah hardware sementara indera penglihatan adalah softwarenya. Maka jika ada orang punya hardware (mata) namun tidak ada softwarenya, maka dia tidak bisa melihat, alias instal software dari Sang Pencipta tidak sempurna. Sama seperti printer yang dicolokkan ke CPU namun tidak bisa digunakan karena tidak ada softwarenya. Kumpulan software inilah yang disebut sukma (ini kata almarhum ayah saya lo), kalau dalam komputer disebut sistem operasi lah (semacam windows gitu)

Nah, software ini berkembang sesuai usia, berasal dari bumi (sari-sari makanan). Bayi belum memiliki dendam atau benci atau iri hati karena softwarenya masih sederhana, namun bayi memiliki rasa panas yang sama dengan manusia dewasa jika terslomot api, atau memiliki rasa haus yang sama dengan manusia dewasa. Jadi kita bisa membedakan mana yang rasa sejati ‘langsung’ anugerah dari Sang Pencipta, dan software yang tidak
langsung alias melalui proses dulu.

Jika rasa sukma tergantung pada panca indera (rasa marah, benci, suka tergantung apa yang dengar, lihat dan pikirkan), maka rasa sejati adalah energi sejati yang diam, statis dan kosong. Kosong di sini berarti tentram. Makanya jika anda tidak tentram, berarti ada yang mengusik rasa sejati (hati nurani) kita. Meski otak dan pikiran mencoba memanipulasi atau membantah, hati nurani tidak bisa berbohong.

Maka arwah-arwah penasaran bisa dikatakan sekumpulan software-software yang lepas dari raga dan tidak tahu arah tujuannya. Sementara sang rasa sejati kembali ke asal energinya. Jika komputer dimatikan, maka energi listriknya kembali ke generatornya (PLTU). Bagaimana supaya tidak menjadi arwah penasaran? Ya harus banyak-banyak mendengarkan rasa sejatinya.. jangan memperbesar nafsu softwarenya…

Rasa sejati selalu memberi warning dengan cara sederhana, yakni jika anda mulai menyinggung kondisi nol alias mengusik ketentraman rasa dalam hati anda, berarti anda berbuat salah. Jika anda berbuat sesuatu dan anda tentram, berarti tidak ada apa-apa alias damai-damai saja. Gitu aja kok.

Jumat, 13 April 2012

AGAMA tanpa ILMU

Tujuan beragama bukanlah kekerasan baik fisik maupun ucapan, namun Keluhuran Akhlaq prilaku yang menjadi tujuannya, adapun ketegasan adalah pada diri sendiri sebagai tanggung jawab individu dengan Tuhan nya, sedangkan pada orang lain sifat nya hanya mengajak mengingatkan dan menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang maruf(kebijakan),’sehingga melahirkan sikap kebajikan, sebab islam tiadalah paksaan, baik memeluk nya, maupun faham dan pendapat.

Berbeda pendapat itu pasti, karena adanya sifat kecenderungan manusia untuk memilih sesuatu yang sesuai dengan dirinya, namun tatkala pendapat dan faham kita berbeda dengan orang lain maka di sanalah kebijakan dan kebajikan akan berbicara. Namun yang harus lebih difahami adalah konteks Islam itu sendiri, yakni islam dalam pengertian konsep dan esensi yang meliputi fitrah setiap insaan, dimana fitrah tsb adalah merupakan landasan dan pondasi untuk menangkap ajaran kebenaran Tuhan sejak manusia pertama Adam, dimana saat itu belum tercetus kata islam, namun Adam telah menerima pengajaran dari Tuhan dalam pertaubatan.

Maka menurut Tarikh pula bahwa kata Islam (muslimun) dicetuskan oleh Nabi Ibrahim as, yang pengertiannya berserah diri, yakni kepada Tuhan Yang Maha Tunggal dengan Nama Tuhan yang berkembang dalam berbagai istilah dan konsonan kata serta bahasa yang berkembang saat itu,Eli….., Elohim, hingga membudaya dimasyarakat bangsa yahudi, kaum Nasrani, dan bangsa Arab Qurays dengan Nama ALLAH, sehingga lafadz Allah itu sendiri menunjukan nama Tuhan.

Namun perlu kita sadari dengan sepenuhnya Bahwa Tuhan Yang Maha Tuggal pun berbeda penyebutan Nama nya ditiap-tiap wilayah dunia ini, termasuk di Nusantara, baik dalam perkembangan agama Hindu Budha, ajaran Kejawen, Kisunda, ataupun melalui kearifan lokal, pada konsep utamanya tetap mengedepankan pemasrahan diri secara totalitas, dan mengutamakan prilaku luhur. Karena sesungguhnya Tuhan itu sendiri tak punya Nama, tak bertempat, tak berupa, tak berwarna (Dzat laysa kamitslihi), melalui Sifat dan Perbuatannya pada kehidupan ini termasuk dalam diri manusia dan seluruh ciptaannya, maka Nama Tuhan itu dapat dikenali dengan Nama dan Panggilan sesuai perkembangan tradisi budaya dan peradaban dimana manusia itu berada, sedang Tuhan itu sendiri tetaplah Tunggal.

Sehingga kita semua dapat memahami salah satu benang merah nya, antara berbagai agama di dunia ini, baik sejak manusia pertama Adam, Ibrahim, dan khataman Nabiyin Muhammad saw yang melengkapi bangunan sebuah agama dan menyempurnakannya, bahwa Beliau Muhammad saw diturunkan untuk meluruskan dan menyempurnakan Keluhuran Akhlaq manusia.

Dalam konsep agama langit mengapa para Nabi turun disana, tentu semua sudah memahami bagai mana kondisi bangsa-bangsa timur tengah dari sejak Adam s/d saat ini, dengan berbagai kerusakan moral, pertikaian yang tak kunjung selesai, bahkan telah terjadi sentimenisme dan fanatisme dalam agama yang berubah menjadi warna dan icon sebuah suku dan bangsa, dimana sejak jaman Bapak para Nabi(Ibrahim as) kata islam/muslimun menunjukan keyakinan sebuah agama telah bergeser dan punah menjadi Nama sebuah tempat dan ciri khas suku bangsa (Yahudi & Nashoro) , sehingga warna agama sudah tak original karena pengaruh nafsu aqal fikiran manusia. Demikian pula Islam kini yang dikenal di Saudi Arabia telah menjadi warna dan Icon dari Risalah Nabi Muhammad saw, padahal kita fahami Nabi Muhammad hanyalah melengkapi dan menyempurnakan ajaran Millah Ibrahim, bahkan menegaskan keyakinan sejak Nabi Adam dimana keyakinan itu belum mempunyai nama.

Seorang yang mengaku beragama tentu harus mengenali perjalanan agama nya, agama bukan saja sebuah aturan hukum yang konkrit, namun disana terdapat nilai spiritual yang diharuskan percaya kepada hal Ghoib (Alladzina yu’minuuna bil ghaybi). Melalui kemampuan spiritual nya diharapkan manusia akan lebih mampu untuk bersikap bijaksana dalam tindakan yang ma’ruf. Karena telah mampu memahami alam kehidupan dalam berbagai dimensi, baik alam makro(jagat raya) maupun alam mikro (manusia) .

Ma’ruf satu akar kata dengan ‘araf, arif, ma’rifah, yang artinya tahu dan mengetahui , namun lebih dari itu ternyata tak cukup hanya mengetahui tapi harus mengenal (Makrifat) yang semua itu ditandai dengan huruf lafadz “AL” (Alif & Lam) yang disebut Isim makrifat. Semua itu dapat dikenali dalam berbagai kata dan kalimat yakni : Al- ISlam, Al-Qurán, Al-Kitab, dan nama Tuhan itu sendiri yang dikenal dengan Al-Illahu(Allah). pada Asmaúl husnaa. Ini semua kita kenal dan fahami dalam tata bahasa Arab(umum) dan Tata Bahasa Alqurán (sastra), sebagai bahasa Ibu, demikian firman Tuhan menjelaskan bahwa : “tidak semata-mata aku turunkan Alqurán dalam Bahasa Arab agar kamu sekalian menggunakan Aqal”.. Ternyata tidaklah mudah memahami Alqurán tidak cukup pindah bahasa saja, selain ilmu tajwid, tafsir, balaghoh, badi, ma‘ani, mantiq, filsafat, tarikh, asbabun nuzul, dan cabang-cabang ilmu lainya, yang tujuannya mencari pendekatan kebenaran melalui aqal fikiran. Lebih dari itu pengetahuan memahami bahasa rumus kodrat alam melalui pengolahan hati nurani, dengan ketajaman rahsa dimana firman Tuhan menegaskan bahwa Alquránnul adzim berada di dalam dada orang-orang yang ber-ilmu….???(Qs)

Sekarang bagai mana persoalannya dengan agama dan keyakinan yang diluar agama langit…?, yang disebut dengan istilah agama bumi yang tumbuh secara alamiah, baik hindu, budha, konghucu, zoroaster, atau yang tumbuh dalam kearifan lokal melalui peradaban tradisi dan budaya seperti ajaran Kejawen, Kisunda, atau agama buhun Sunda Wiwitan di desa kanekes lebak banten jabar, dimana keyakinan mereka masih menganut asal usul agama Nabi Adam.

Siapa Tuhan mereka…?, apakah mereka menemukan Tuhan …?, apakah Tuhannya berbeda…?. Tentu bagi kaum beragama yang jiwa spritual nya cerdas akan mampu memahami itu semua, karena mereka bukan saja berpedoman terhadap dalil yang tersurat dalam Kitab Suci, namun mereka mampu mengetahui dan memahami serta mampu berkomuniskasi melalui dalil-rumus kodrat alam sebagai ayat yang tersirat di alam kehidupan ini dengan sangat jelas dan nyata, tak bergeser sepermilyar milipun sebagai sunatullah dalam kehidupan.

Sebalik nya bagai mana mereka yang tak memahami dan tak mampu berkomunikasi melalui rumus kodrat alam sebagai ayat-ayat tersirat…?, lihat sajalah buktinya, agama dan kitab suci telah menjadi produk aqal fikiran, dan berubah menjadi identitas sebuah wilayah, suku bangsa, kelompok, golongan, aliran, mahzab-mahzab yang beragam dan berserakan bahkan telah merusak tatanan politik, ekonomi, geografis, pertikaian, permusuhan, peperangan, pembantaian, yang semua itu bersumber dari AGAMA tanpa ILMU.

Maka disini Ilmu pengetahuan menjadi peranan yang sangat penting sekali dalam memahami sebuah agama, sebagai mana dalil nya “awalu dini ma’rifatullahi ta’ala” (awal nya agama adalah mengenal Tuhan nya).. Ilmu pengetahuan agama yang diproduk oleh otak, hanyalah merupakan hafalan dan referensi saja, yang masih tertutupi oleh kebodohan, masih perlu dibuktikan di alam raya sebagai ayat-ayat tersirat, melalui kecerdasan spiritual, kemampuan intuisi, ketajaman mata hati, melalui pengolahan jiwa dalam qolbu nya. Sehingga manusia yang cerdas spritual nya(Fathonah) akan mampu bersikap arif bijaksana. Arif karena terjadi proses tahu mengetahui dan mengenal, bijak dalam memutuskan, dan selalu mengutamakan kebajikan dalam perbuatannya.

Bila manusia telah memahami siapa dirinya akan mampu memahami Tuhannya (man arofa nafsahu faqod arofa Robbahu), dan siapa manusia yang telah mengetahui Tuhannya maka dirinya akan merasa bodoh (man arofa Robbahu, faqod jahilan nafsahu). Karena manusia telah saling menyadari bahawa tiap-tiap dirinya terdapat sifat-sifat keagungan Tuhan dalam fitrah nya, yang harus dipelihara dengan akhlaq prilaku yang luhur(habluminanas) dan selalu ditegakan dalam ibadah nya (habluminallah). .

Atas kesadaran itu semua manusia akan selalu memelihara kerukunan dan kedamaian, tiada fanatisme, tiada perdebatan, tiada buruk sangka, tiada mengkafirkan, antara satu agama dan agama lainnya, baik itu agama bumi (sayid Anwar/Sanghyang Nurasa) maupun agama langit(Sayid Anwas/Sanghyang Nurcahya), karena semua nya akan berujung kepada satu muara , yakni keyakinan dan ketauhidan Nabi Syith as (Sanghyang Sita) sebagai ayah nya, dan Putra dari Bapak Adam as.(Sanghyang Adama)

Kewajiban kita semua yang mengaku ber agama adalah menemukan benang merah dari agama langit dan agama bumi, melalui cahaya ilahi dan rahsa sejati, dalam kesempuranaan hidupInsaan kamil hingga mencapai Kamil Mukamil (Mukswa) , dimana semua proses spritual nya telah dibahas panjang lebar di berbagai artikel Blog Nya Mas Sabda Langit.

Mohon maaf dan idzinnya tulisan ini terlelu panjang kepada @Mas Sabda, dan para pembaca, serta maafkan bila terdapat salah kata 
Wassalam,

Berlindung Dibalik Dalil Alqurán

Kembali ke Alqurán dan hadits memang menjadi moto utama bagi umat islam , namun sangat disayangkan terkadang memang benar bahwa aqal fikiran menjadi nanar dan nyasar bagi yang tak mampu memahami tafsir makna & takwil nya, apalagi bila tak memahami asbabun nuzulnya(sikon) turunnya ayat tsb. Sehingga dalil hadits hanya di translate pindah bahasa saja tanpa mampu memahami jauh kedalam kebenaran yang sebenar-benarnya secara haqikat. Tentu pemahaman haqikat bukan wilayah otak, tapi lebih ke intuisi dan Qalbu.

Semua nasehat akan selalu mengatakan kembali kepada Allah & Rasulnya adalah diterjemahkan dengan kembali kepada dalil Alqurán dan Hadits, sehingga Alqurán dan hadits bagaikan berhala, sedangkan dalil Alquran tsb masih terbungkus dan terkhijab oleh kebodohan otak manusia yang masih perlu untuk dipecahkan melalui berbagai macam disiplin ilmu tasir, belum lagi ditambah oleh polesan sikap prilaku(akhlaqul kharimah) untuk menghindari, sikap sikap fanatik buta yang merupakan dinding pemikiran, sifat egoisme, merasa paling benar, dan yang tidak sepaham atau diluar islam maka dihukumi kafir masuk neraka, seakan-akan agama ini adalah satu-satu nya agama paling uptodate paling benar, sampai sampai untuk sekedar masuk surga harus merusak, mengebom dan membantai orang-orang yang tak berdosa.

Sebagai umat islam tentu sangat prihatin atas semua klaim-klaim untuk mencari pembenaran diri, sehingga dalil-dalil ayat suci menjadi alasan untuk membenarkan faham diri sendiri, sehingga yang tampak hanya sebuah doktrin dan dogma yang timbul dari aqal pemikiran yang sempit untuk berlindung dibalik dalil Alqurán.

Sesuai dengan buktinya, maka tak aneh bila yang katanya agama paling benar itu malah terpecah belah menjadi bermacam-macam dalam kelompok golongan aliran yang membiungungkan umat, yang masing-masing nya mengklaim dirinya paling benar.

Sikap fanatik dan egoisme merasa paling benar, menurut ahli psikologi adalah merupakanpenyakit hambatan perkembangan jiwa, sehingga jiwa-jiwa yang seharusnya merdeka dan dewasa menjadi lemah daya spiritual nya, karena doktrin dan dogma telah menjadi ciri sikap prilakunya yang jauh dari sifat fathonah (Jiwa yang cerdas), selalu monoton tidak berkembang nalarnya, kaku, dan terkunci oleh doktrin dalil ayat yang masih terbungkus oleh khijab kebodohan.

Rasulullah saw berpesan agar anak keturunan kita terhindar dari lemah nalar.
Karena agama tanpa ilmu akan rusak, demikian pua sebalik nya, tentu ilmu disini bukan hanya sekedar hafalan dalil dan ayat yang memenuhi otak tanpa makna, namun pengetahuan akanhaqikat dari sesuatu yang tak tampak secara kongkrit di mata, namun tampak oleh penglihatan hati nurani. Seperti apa yang di tegaskan oleh Alqurán pula bahwa :
Alqurán berada di dalam dada orang-orang yang ber ilmu

Semoga umat islam ini benar-benar menyadari bahwa dalam kehidupan yang kompleks di berbagai dimensi alam , umat islam mampu memahami agama dan kitab sucinya, karena Alqurán hanyalah petunjuk saja, yang masih harus dibuktikan melalui dalil ayat yang tersirat di alam kehidupan ini sesuai pa yang telah ditunjukan.

Mohon maaf bila terdapat kesalahan kata dan kalimat,
Wabillahit taufik wal hidayah
Salam…….

SEJATINYA GURU SEJATI

HAKEKAT GURU SEJATI

Kembali pada pembahasan Guru Sejati. Melalui 3 langkahnya (Triwikrama) Dewa Wishnu (Yang Hidup), mengarungi empat macam zaman (kertayuga, tirtayuga, kaliyuga, dwaparayuga), lalu lahirlah manusia dengan konstruksi terdiri dari fisik dan metafisik di dunia (zaman mercapada). Fisik berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah roh beserta unsur-unsur yang lebih rumit lagi. Ilmu Jawa melihat bahwa roh manusia memiliki pamomong (pembimbing) yang disebutpancer atau guru sejati. Pamomong atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh atau sukma. Roh atau sukma di siram “air suci” oleh guru sejati, sehingga sukma menjadi sukma sejati. Di sini tampak Guru sejati memiliki fungsi sebagai resources atau sumber “pelita” kehidupan. Guru Sejati layak dipercaya sebagai “guru” karena ia bersifat teguh dan memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir). Guru Sejati adalah proyeksi dari rahsa/rasa/sirr yang merupakan rahsa/sirr yang sumbernya adalah kehendak Tuhan; terminologi Jawa menyebutnya sebagai Rasa Sejati. Dengan kata lain rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning” Tuhan (sirrullah). Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan “mewarnai” energi hidup atau roh menjadi energi suci (roh suci/ruhul kuddus). Roh kudus/roh al quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –dalam konteks ini hakikat rasa sejati– maka peranan roh tersebut tidak lain sebagai “utusan Tuhan”. Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat dengan sukma sejati atau dalam terminologi Arab disebut ruh al quds. Disebut juga sebagai an-nafs an-natiqah, dalam terminologi Arab juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa. Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh manusia. Jiwa yang ditundukkan oleh nafsu hanya akan merubah karakternya menjadi jahat.

Menurut ngelmu Kejawen, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati. Guru Sejati benar-benar bisa mewujud dalam bentuk “halus”, wujudnya mirip dengan diri kita sendiri. Mungkin sebagian pembaca yang budiman ada yang secara sengaja atau tidak pernah menyaksikan, berdialog, atau sekedar melihat diri sendiri tampak menjelma menjadi dua, seperti melihat cermin. Itulah Guru Sejati anda. Atau bagi yang dapat meraga sukma, maka akan melihat kembarannya yang mirip sukma atau badan halusnya sendiri. Wujud kembaran (berbeda dengan konsep sedulur kembar) itu lah entitas Guru Sejati. Karena Guru Sejati memiliki sifat hakekat Tuhan, maka segala nasehatnya akan tepat dan benar adanya. Tidak akan menyesatkan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. Bagi yang belum bisa bertemu Guru Sejati, anda jangan pesimis, sebabGuru Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan berupa sinyal dan getaran melalui Hati Nuranianda. Maka anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang anda hadapi.

Namun permasalahannya, jika kita kurang mengasah ketajaman batin, sulit untuk membedakan apakah yang kita rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping rahsa) ataukah kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep). Artinya, Guru Sejati menggerakkan suara hati nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak lain merupakan rahsaning karep atau rasanya keinginan.

Sarat utama kita bertemu dengan Guru Sejati kita adalah dengan laku prihatin; yakni selalu mengolah rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara membersihkan hati dari hawa nafsu, dan menjaga kesucian jiwa dan raga. Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih.

SEDULUR; PAPAT KEBLAT, LIMA PANCER

Atau Keblat Papat,Lima Pancer, di lain sisi diartikan juga sebagai kesadaran mikrokosmos. Dalam diri manusia (inner world) sedulur papat sebagai perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan di muka bumi. Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air ketuban atau air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera disusul oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi lahir juga disertai keluarnya darah dan daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur kembarnya. Jika ke-empat unsur disatukan maka jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur kelima yakni pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa; dalam pandangan Jawa doa merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus melibatkan unsur semua unsur raga dan jiwa secara kompak. Maka untuk mengawali suatu pekerjaan disebut dibutuhkan sikap amateg aji (niat ingsun) atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan/rencana/usaha). Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa untuk mengawali suatu pekerjaan berat maupun ringan diawali dengan mengucap; kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe ….

MENGOLAH GURU SEJATI

Guru Sejati yakni rahsa sejati; meretas ke dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira sepadan dengan makna roh kudus (ruhul kudus/ruh al quds). Kita mendayagunakan Guru Sejatikita dengan cara mengarahkan kekuatan metafisik sedulur papat (dalam lingkup mikrokosmos) untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh hawa nafsu. Bersamaan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan kekuatan makrokosmos yakni papat keblat alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang bersifat transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu lauwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (al mutmainah). Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan frekuensinya dengan gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma kita sesuai dengan karakter dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci, yang telah meretas ke dalam sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang Khaliq yang (minimal) meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut manunggaling kawula-Gusti.

Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘manunggaling kawula Gusti’ atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna.

Sebagai upaya manunggaling kawula gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata, bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar supaya mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah, supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kejawen mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam “bulan suci Ramadhan”. Artinya, semangat dan kegigihan melakukan kebaikan, membelenggu setan (hawa nafsu) hendaknya dilakukan sepanjang hidupnya, jangan hanya sebulan dalam setahun. Selesai puasa lantas lepas kendali lagi. Pencapaian hidup manusia pada tataran tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan kehendakNya, manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. Yakni substansi dari manunggaling kawula gusti sebagai ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen khususnya dalam anasir ajaran Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam Guru Sejati, sukma sejati.

TANDA PENCAPAIAN SPIRITUALITAS TINGGI

Keberhasilan mengolah Guru Sejati, tatarannya akan dapat dicapai apabila kita sudah benar-benar ‘lepas’ dari basyor atau raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad. Bukan berarti kita harus meninggalkan segala kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi, itu salah besar !! Sebaliknya, kehidupan duniawi menjadi modal atau bekal utama meraih kemuliaan baik di dunia maupun kelak setelah ajal tiba. Maka seluruh kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi sudah tidak dicemari oleh hawa nafsu. Kebaikan yang dilakukan tidak didasari “pamrih”; sekalipun dengan mengharap-harap iming-iming pahala-surga, atau takut ancaman dosa-neraka. Melainkan kesadaran makrokosmos dan mikrokosmos akan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, hendaklah memposisikan diri bukan sebagai seteruNya, tetapi sebagai “sekutuNya”, sepadan dan merasuk ke dalam gelombang Ilahiah. Kesadaran spiritual bahwa kemuliaan hidup kita apabila kita dapat bermanfaat untuk kebaikan bagi sesama tanpa membeda-bedakan masalah sara. Orang yang memiliki kesadaran demikian, hakekat kehendaknya merupakan kehendak Tuhan. Apa yang dikatakan menjadi terwujud, setiap doa akan terkabul. Ucapannya diumpamakan “idu geni” (ludah api) yang diucapkan pasti terwujud. Kalimatnya menjadi “Sabda Pendita Ratu”, selalu menjadi kenyataan.

Selain itu, tataran tinggi pencapaian “ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai wujud “diri” kita sendiri, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. Lebih dari itu, kita dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai “mursyid” yang tidak akan pernah bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan relung ’sastra jendra hayuning rat’ yakni ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu, karena mata (batin) kita akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta, sekalipun tertutup oleh pandangan visual manusia maupun teknologi.

Tanda-tanda pencapaian itu antara lain, kadang seseorang diizinkan Tuhan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang, melalui vision, mimpi, maupun getaran hati nurani. Semua itu dapat merupakan petunjuk Tuhan. Maka tidak aneh apabila di masa silam nenek moyang kita, para leluhur bumi nusantara yang memperoleh kawaskitan, kemudian menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno berupa; suluk, serat, dan jangka atau ramalan (prediksi). Jangka atau prediksi diterima oleh budaya Jawa sebagai anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai peringatan Tuhan, agar supaya manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu eling-waspadha dan melakukan langkah antisipasi.

PENTINGKAH GURU SEJATI ?

Peran Guru Sejati sudah jelas saya paparkan di awal pembahasan ini. Namun demikian perlu kami kemukakan betapa pentingnya Guru Sejati dalam kehidupan kita yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita berlabuh dalam samudra kehidupan yang penuh dengan marabahaya. Kita harus selalu eling dan waspadha, sebab setiap saat kemungkinan terburuk dapat menimpa siapa saja yang lengah. Guru Sejati akan selalu memberi peringatan kepada kita akan marabahaya yang mengancam diri kita. Guru Sejati akan mengarahkan kita agar terhindar dari malapetaka, dan bagaimana jalan keluar harus ditempuh. Karena Guru Sejati merupakan entitas zat atau energi kebaikan dari pancaran cahaya Illahi, maka Guru Sejati memiliki kewaskitaan luarbiasa. Guru Sejati sangat cermat mengidentifikasi masalah, dan memiliki ketepatan tinggi dalam mengambil keputusan dan jalan keluar. Biasanya Guru Sejati “bekerja” secara preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya tidak melangkah menuju kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan, malapetaka, atau musibah.

ANASIR ASING

Konsep tentang guru sejati sebagaimana ajaran Jawa, dapat ditelusuri melalui konsepsedulur papat lima pancer, dalam konsep pewayangan yang makna dan hakikatnya dapat dipelajari sebagaimana tokoh dalam Pendawa Lima (lihat dalam tulisan Pusaka Kalimasadha). Namun demikian, dalam perjalanannya mengalami pasang surut dan proses dialektika dengan anasir asing yakni; Hindu, Budha, Arab. Leluhur bangsa kita memiliki karakter selalu positif thinking, toleransi tinggi, andap asor. Sehingga nenek moyang kita, para leluhur yang masih peduli dengan kearifan lokal, secara arif dan bijaksana mereka tampil sebagai penyelaras sekaligus cagar kebudayaan Jawa. Setelah Islam masuk ke Nusantara, ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur papat keblat kemudian diartikan pula sebagai empat macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah (biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau tali suhatas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi antara Kejawen dengan tradisi Arab disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan diaplikasikan ke dalam lambang aslinya yakni tokoh wayang; 1. Lauwamah = Dosomuko, 2. Amarah = Kumbokarno, 3. Supiyah = Sarpo Kenoko, 4. Mutma’inah = Gunawan Wibisono.

Tulisan ini saya persembahkan kepada seluruh pembaca yang budiman sebagai penambah referensi dan informasi untuk generasi bangsa. Karena kita sadari sulitnya mendapatkan referensi sehingga seringkali dalam beberapa pembahasan maknanya menjadi salah kaprah. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapapun, walau sedikit dan masih banyak kekurangan di sana-sini. Rahayu; sabdalangit