Rabu, 18 April 2012

Benarkah Budha Penyembah Berhala

“ Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa”

( tikkhattum ; 3X )
Nammatthu Buddhassa,
Salam Damai dan Cinta Kasih … ,

Artikel ini saya buat untuk menjawab banyak tudingan-tudingan dari masyarakat kebanyakan, yang menyatakan bahwa ummat Buddha adalah penyembah berhala. Artikel ini juga bertujuan mengingatkan, sebelum anda mencap suatu praktik keagamaan, sebaiknya anda pelajari dulu, anda mengerti dulu, apa yang dipraktikkan tersebut.

Bagaimanapun, tudingan-tudingan yang menyudutkan bahwa orang lain mempraktekkan penyembahan berhala, adalah tudingan yang cukup menyakitkan hati bagi orang-orang yang disudutkan tersebut. Semoga, dengan artikel ini, tidak ada lagi yang saling menuding bahwa seseorang penganut kepercayaan yang berbeda dengan dirinya, sebagai penyembah berhala, hanya karena terdapatnya simbol-simbol keagamaan mereka.

MEJA PUJA

Meja Puja di rumah

Diatas itu , adalah Meja-Puja yang ada dirumah tempat tinggal saya. Di ruangan tersebut, didepan meja-puja itu, saya biasa menghabiskan waktu selama 3-4 jam, sekitar jam 20.00 WIB s/d 24.00 WIB , untuk melakukan Puja-Bhakti setiap harinya. Rutinitas saya , adalah chanting / membaca Paritta selama satu jam, kemudian melakukan Bhavana ( pengembangan batin ) / samadhi selama 3 jam sisanya. Atau, terkadang tanpa chanting, hanya vandana, namakara-gatha, puja-gatha, Pubbabhaganamakara, dan Tisarana, kemudian saya lanjutkan dengan samadhi selama 3-4 jam.

Buddha-rupam ( Rupam = rupa, wajah, image ; Buddha-rupam = Image Sang Buddha ) yang di meja teratas, adalah Buddha-rupam dari Thailand, berlapis emas. Buddha-rupam itu menggambarkan posisi Sang Buddha sesaat setelah mencapai Pencerahan Sempurna, Beliau berdiam di tepi danau Muccalinda selama tujuh hari dan kemudian Raja Naga yang tinggal di dasar danau tersebut ingin melakukan persembahan yang berharga pada Sang Buddha, dengan melingkari tubuh Sang Buddha sebanyak tujuh lingkaran dan menaungi Sang Buddha dengan tujuh-kepalanya, dengan tujuan melindungi Sang Buddha dari hujan lebat selama tujuh hari berturut-turut ( hujan ini hanya terjadi pada dua peristiwa ; 1. Saat munculnya Raja-Dunia ; 2. Saat munculnya seorang Samma-Sambuddha ). 

Bantalan untuk duduk Samadhi di Ruang Puja-'ku'  

Buddha-rupam tersebut ( juga yang kecil, yang di meja lebih rendah. Buddha-rupam yang kecil itu berasal dari India ), merupakan pemberian seorang bijak dan bajik, sebagai hadiah untuk saya, sebagai cindera mata Beliau dari negeri Thailand dan India. Yah, semacam oleh-oleh… Daripada oleh-oleh berupa benda-benda yang tidak bermanfaat, maka saya memilih oleh-oleh berupa Buddha-Rupam yang berguna dan menunjang rutinitas saya berpuja-bhakti dan samadhi setiap harinya.

Pernak-pernik di atas meja Puja itu bukannya tanpa makna, semuanya memiliki makna sendiri-sendiri. Ada tiga elemen utama dalam meja-puja, yaitu : Nyala-api, Bunga, dan Dupa.

1). Nyala api lilin, melambangkan kebijaksanaan, pencerahan, yang melenyapkan kebodohan batin, kegelapan. Sembari menyalakan api lilin, siswa Sang Buddha bertekad dalam hati, untuk mampu melenyapkan kebodohan batin dan mencapai Pencerahan-Sempurna.

2). Bunga ; Bunga melambangkan harta dunia yang diinginkan para makhluk, sebab nampak indah, menyenangkan indera, berbentuk indah, berbau harum, bertekstur halus / lembut, dan mempunyai sari-sari bunga yang manis. Melalui bunga tersebut, siswa merenungkan dalam batin, bahwa meskipun bunga ( keduniawian ) nampak indah dan menyenangkan, namun patut direnungkan dengan bijaksana, bahwa semua hal di dunia ini, sesungguhnya bersifat tidak-kekal ( anicca ), dan karena tidak kekal maka menyebabkan timbulnya derita, kesedihan ( dukkha ), dan tiadanya inti-diri yang abadi disana ( An-atta ). Saat meletakkan bunga-bunga di meja Puja, siswa Sang Buddha merenungkan ketiga hal tersebut, “Anicca, Dukkha, Anatta”.

3). Dupa ; Dupa ini melambangkan harumnya kebajikan, moralitas, pengendalian batin / pikiran, dan kebijaksanaan yang mempesona dan menyebar kemana-mana. Para Bijaksana, dikenal, dikenang, tak terbatas ruang dan waktu, selama berabad-abad, diseluruh penjuru dunia, kebajikan-moralitas-pengendalian batin-kebijaksanaannya, dipuji oleh para makhluk. Mengenai hal ini, Sang Buddha menggambarkannya dalam syair berikut ini :

“ Appamatto ayam gandho,
Yayam tagaracandani
Yo ca silavatam gandho,
Vatti devesu uttamo.
( Dhammapada; IV-13 ; Puppha-Vagga ) “

Arti :
“ Tak seberapa harumnya bunga melati dan kayu cendana,
Jauh lebih harum mereka yang memiliki Sila ( Moralitas, kebajikan ),
Nama harum mereka tersebar diantara para Dewa di alam Surga. “

APAKAH UMMAT BUDDHA PENYEMBAH BERHALA ?

Maggha-Puja di Vihara Watu Gong

“Penyembah-Berhala!”, kalimat ini selama berabad-abad telah menjadi senjata yang ampuh untuk mendiskreditkan suatu agama tertentu beserta para penganutnya. Bukan hanya agama Buddha dan para ummatnya yang sering mendapat ‘tudingan’ kejam seperti ini, tetapi agama-agama yang lainnya pun banyak juga ( misal ; agama Katholik, Hindu, dan lain-lainnya ). Agaknya kita harus dengan kepala dingin dan hati yang terbuka, menelaah secara kritis akan hal ini.

Pemujaan terhadap “berhala” yang dimaksudkan tersebut ( yang sering dituding-tudingkan ) , secara umum berarti, pemujaan terhadap sebuah benda ( patung, tugu-batu, batu-batu bertuah, dan segala bentuk benda yang lainnya ) dalam berbagai bentuk dan ukuran dan berdoa secara langsung terhadap benda-benda tersebut seolah-olah benda tersebut adalah Tuhan Yang-Maha-Kuasa itu sendiri. Doa-doa yang diuncarkan itu berisi permohonan, ratapan, keluh-kesah, yang ditujukan terhadap “Tuhan” yang termanifestasi dalam benda itu, dengan harapan semua permohonan itu dikabulkan.

Nah, apakah Buddha-Rupam adalah berhala ? Melihat pengertian pemujaan berhala tersebut, maka, Buddha-Rupam BUKAN – BERHALA, dan puja kepada Buddha-Rupam, bukanlah suatu bentuk pemujaan kepada Berhala, sebab ;

1. Buddha-Rupam, bukanlah benda / image yang menggambarkan sosok TUHAN.

2. Tidak ada DOA-DOA yang berisi permohonan, ratapan, keluh-kesah, yang ditujukan pada Buddha-Rupam tersebut.

Poster di ruang Puja di rumah saya
Mungkin anda ada yang bertanya, “ Lalu, apakah isi Sutta-sutta yang diuncarkan waktu ber-Puja-Bhakti ?”. 

Yang harus diketahui, Sutta, BUKANKAH DOA. Sutta, berbeda dengan DOA.

Sutta, artinya adalah “Khotbah”, ia merupakan Sabda Sang Buddha yang berisi ajaran-ajaran Sang Buddha selama 45 tahun Beliau mengabdi pada semua makhluk demi menunjukkan jalan untuk terbebas dari ( minimal ) empat-alam menyedihkan ( yaitu ; neraka, binatang, alam para hantu ( peta ), dan alam para Jin dan raksasa ( Asura ) ) , dan ( maksimal ) demi tercapainya realisasi Nibbana, pembebasan sempurna dari samsara, terbebas dari arus tumimbal lahir di alam manapun juga. Pembacaan Sutta ini, mempunyai tujuan, untuk semakin menghayati ajaran Sang Buddha, bukan untuk meratap dan memohon permohonan-permohonan seperti rejeki, jodoh, dan lain-lain hal duniawi.

Misalkan saja, Karaniyametta-Sutta. Ini adalah Khotbah tentang Kewajiban dan Cinta Kasih. Berisi anjuran-anjuran Sang Buddha tentang apa yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan, untuk mencapai ketenangan. Anjuran ini sangat jelas terlihat dari awal khotbah tentang kewajiban dan cinta-kasih ini :

“ Inilah yang harus dikerjakan,
Oleh ia yang tangkas, dalam hal yang berguna,
Yang mengantar ke jalan pencapaian ketenangan,
Ia harus mampu, jujur, sungguh jujur, 
Rendah hati, lemah-lembut, tiada sombong… ,

Merasa puas, mudah dilayani,
Tiada sibuk, sederhana hidupnya,
Tenang inderanya, berhati-hati,
Tahu malu, tak melekat pada keluarga-keluarga.

Tak berbuat kesalahan walaupun kecil,
Yang dapat dicela oleh Para Bijaksana,
Hendaklah ia berpikir : 
“Semoga Semua Makhluk Berbahagia dan Tenteram,
Semoga Semua Makhluk Berbahagia!”

Nah, dari cuplikan Karaniyametta-Sutta tersebut, jelas terlihat tidak ada ratapan-ratapan dan permohonan yang ditujukan kepada Buddha-rupam dan Sang Buddha, bukan ? Demikian pula dengan semua Sutta-sutta dalam kitab agama Buddha. Semua berisi ajaran-ajaran Sang Buddha, dalam bahasa Pali, dibaca untuk diresapi, dihayati, ditemukan manfaat sari pati ajarannya untuk dipraktekkan.

Sekarang, mari kita bandingkan isi SUTTA tersebut dengan DOA, yang umumnya masyarakat non-Buddhis mengenalnya. Umumnya, doa akan berbunyi dan berisi hal-hal seperti dibawah ini :


“ Ya Tuhan Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang… ,
Segala Puji Bagi – Mu , Tuhan, Penguasa Alam Semesta,
Hanya pada-Mu kami menyembah, dan hanya padamu kami MEMOHON PERTOLONGAN, Ya Tuhan Yang Maha Perkasa.., 

Ya, Tuhan, Yang Maha Agung..,
Tunjukkanlah kami Jalan kenikmatan yang engkau berikan pada mereka yang Engkau kasihi, bukan jalan kecelakaan yang Engkau berikan terhadap mereka yang Engkau MURKAI… .

Ya Tuhan, bukakanlah pintu Rejeki untuk Kami,
Pertemukanlah kami dengan jodoh-jodoh kami 
Yang telah Engkau siapkan, Ya Tuhan…,
Ampunilah kesalahan kami,
Terimalah seluruh amal perbuatan baik kami, Ya Tuhan..,
dst.”

Doa, selalu didahului dengan puja dan puji kepada Tuhan, lalu diikuti oleh berbagai bentuk ratapan dan permohonan, permintaan tolong, harapan untuk dibantu memperoleh jalan keluar, dan lain-lain sebagainya. Sedangkan Sutta , yang diuncarkan para siswa Sang Buddha, berisi tentang pokok-pokok pelajaran yang diberikan oleh Sang Buddha, untuk dihayati, semakin diperdalam, demi tercapainya kemajuan spiritual.

Karena masyarakat umumnya terbiasa diajari doa-doa, yang isinya adalah ratapan-ratapan kepada Tuhan, lantas menyamaratakan bahwa apa yang dibaca dalam Paritta / Kitab-Kitab agama Buddha [terutama ketika ber-Puja Bhakti di depan meja Puja ] adalah sama dengan apa yang mereka baca.

FUNGSI BUDDHA-RUPAM

Meja Puja Bhakti di Rumah

Buddha-Rupam, atau image-Buddha, berfungsi sebagai alat bantu visual yang membantu seseorang mengingat Sang Buddha dan sifat-sifat luhur-Nya yang menginspirasi milyaran makhluk dari generasi ke generasi berikutnya sepanjang sejarah peradaban dunia.

Buddha-Rupam juga berfungsi sebagai objek-samadhi, yaitu saat melakukan samadhi dengan objek Buddhanussati. Meditasi dengan objek keluhuran dan sifat serta Guna dari Sang Buddha, akan semakin memperteguh semangat untuk menempuh kehidupan suci, dengan meneladani Sang Guru Agung itu sendiri, yang menunjukkan Jalan menuju kesucian dan pembebasan.

PATUNG-PATUNG DALAM AGAMA-AGAMA DILUAR BUDDHA-DHAMMA

Sesungguhnya, diluar agama Buddha, semua agama menggunakan suatu objek benda sebagai suatu sarana visual dan material untuk ber-religi, termasuk untuk melakukan ritual penguncaran doa-doa. Dan hal ini, menurut hemat kami, adalah wajar-wajar saja. Sebab, manusia mempunyai akal-pikiran, dan objek-objek tersebut merupakan bentuk ekspresi manusia terhadap sesuatu yang ia sebut “sakral”.

Di dalam agama Hindu, banyak terdapat patung Dewa, baik Dewa Brahma, Wisnu, maupun Siwa. Dan masih banyak lagi patung-patung. Semua patung-patung itu, merupakan simbol dari Tuhan, manifestasi dari Tuhan itu sendiri.

Di dalam agama Katholik, banyak terdapat patung-patung, seperti patung Tuhan Yesus Kristus, patung Bunda Maria, serta patung para suciwan lainnya.

Didalam agama Kristen, meskipun di”haram”kan adanya patung-patung, namun mereka mempunyai lambang “Salib” , sebagai objek / image dari kekudusan, kerohanian, atau sesuatu yang “absolut” itu sendiri.

Di dalam Islam, agama yang sangat mengharamkan adanya objek-objek pemujaan, mempunyai sebuah objek lambang-suci mereka , yaitu Ka’Bah, atau rumah-Tuhan. Menurut sejarahnya, di dalam Ka’Bah dulunya terdapat tiga ratus enam puluh (360 ) patung, dan sudah disingkirkan semua oleh Nabi Muhammad SAW. Diluar Ka’Bah terdapat Batu Hajar Aswat , yang dipercaya sebagai batu bertuah dari surga. Hingga kini, ummat Islam sedunia, bila sholat , dan juga saat-saat berdoa, memohon suatu berkah, selalu menghadap KIBLAT, yaitu arah menuju rumah-Tuhan itu, Ka’Bah, di Mekah di tanah-Arab. Selain itu, juga terdapat seni Kaligrafi yang menggambarkan religiusitas mereka, dan seni ini sangat terkenal dan digemari karena keelokannya.

Di dalam Agama TAO, terdapat patung-patung Dewa, seperti Dewa Bumi, Dewa Langit, Dewa Naga, Dewa Kekayaan, Dewa Kesehatan, dan lain-lain patung Dewa, yang kesemuanya berfungsi sebagai sarana untuk mengajukan permohonan kepadanya.

Di dalam Kejawen, terdapat Keris-Keris, batu-batu bertuah, jimat-jimat, beberapa jenis patung, lukisan-lukisan Dewa tertentu, seperti Semar, Ratu Kidul, dan lain-lain. Ummat Kejawen, juga melakukan doa-doa serta ritual-ritual kepada Tuhan , karena mereka merupakan “Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan YME ” . ( Misal, dengan doa-doa seperti, “Duh Gusti Ingkang Maha Agung, Ingkang Murbeng Dumadi, Ingkang Maha Kuwaos…, Kula Nyuwun Gunging Pangapunten, Gunging Pangaksami… , Nyuwun Sih Pitulungan Panjenengan , duh Gusti Pengeran…dst.” ).

Melihat betapa universalnya tradisi patung-patung / objek-objek suci bagi ritual sebuah agama di berbagai agama tersebut , lalu, adakah yang salah ? Tentu tidak. Adakah yang paling benar ? Artinya, bahwa hanya ada satu patung saja yang boleh disembah, sedang yang lain harus dihancurkan ? Egois sekali bila begitu.

Jika ada ummat Buddha yang melakukan hal memalukan tersebut ( menghancurkan patung-patung diluar Buddha-Rupam ), maka ia bukanlah seorang pengikut Sang Buddha, karena ia ‘egois’, ‘biadab’, menghancurkan suatu ‘keindahan’ , keelokan, ragam budaya dari pihak lain ( agama lain ) , yang sesungguhnya memperkaya khazanah peradaban dunia. Orang-orang seperti ini, ( yang suka menghancurkan patung-patung dari agama lain, dan menganggap hanya patung dalam agamanya sajalah yang boleh ada dan boleh disembah ) layaknya disadarkan, bahwa patung miliknya ( bagi ummat Buddha, tentu saja yang dimaksud adalah Buddha-Rupam ), bukanlah satu-satunya patung yang boleh ada, yang boleh dipuja, dan yang harus menjadi satu-satunya didunia yang di”sakral”kan.

SIAPA YANG SELAMA INI MENYEMBAH BERHALA ??

Persiapan Magha Puja di Vihara Watugong
Dengan menelaah hal-hal diatas, lalu, kita sekarang bisa bertanya, “Siapakah sesungguhnya yang selama ini MENYEMBAH BERHALA ?? “ Predikat “pemuja-berhala” sangatlah tidak tepat diberikan kepada ummat Buddha, dan tidak tepat pula diberikan pada ummat agama apapun. Pemberian predikat seperti itu sangatlah kejam, tidak manusiawi, melukai hati nurani setiap ummat yang memegang teguh kepercayaannya.

Sesungguhnya, semua agama sama-sama mempunyai objek / simbol religinya masing-masing, bahkan hampir semuanya memiliki suatu “objek” visual pemujaannya sendiri-sendiri, yang patut dihormati oleh semua pihak, baik ummat agama tersebut maupun ummat agama lainnya. Bagi kami, ummat Buddha, itu semua bukanlah masalah, dan bukan hak kami untuk menghakimi dengan tudingan-tudingan yang menyakitkan seperti yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Semoga dengan artikel ini, tidak ada lagi tuding-menuding yang berjudul “Penyembah-Berhala” tersebut,sadhu…sadhu…sadhu… .

“ Sabbe Satta Sukhita Hontu, Nidukkha Hontu, Avera Hontu, Abyapajjha Hontu, Anigha Hontu, Sukhi Attanam Pariharantu”

( Semoga Semua Makhluk Berbahagia, Bebas dari Penderitaan, Bebas dari Kebencian, Bebas dari Kesakitan, Bebas dari Kesukaran, Semoga Mereka dapat Mempertahankan Kebahagiaan Mereka masing-masing )

By : RATANA-KUMARO ( Ratna Kumara )

Sabtu, 14 April 2012

Pemahaman Yang Dinamis Mengenai Alqu'an Dan Al hadist

Keyakinan, akidah, dan pemikiran kita itu sesungguhnya dinamis. Cara kita memahami sebuah ayat Allah saja bisa terus berkembang: Misalkan, dulu saya memahami bahwa “Inna diena indallahil Islam” itu sebagai petunjuk bahwa yang diterima di sisi Allah itu hanyalah orang yang beragama Islam…dengan kata lain, mereka yang Hindu, Budha, Kristen, dll…bagaimanapun baiknya akhlak mereka..karena akidah mereka salah, mereka pasti masuk neraka, tak diterima di sisi Allah. Namun…seiring dengan perjalanan waktu, saya menyadari bahwa pemahaman seperti itu sungguh naif dan gegabah. Kini, saya memahami ayat itu dengan cara yang berbeda: Bahwa sesungguhnya, sikap beragama yang diterima oleh Allah itu, adalah sikap beragama yang penuh ketundukan kepada Kebenaran (Al Haq) dan sekaligus membawa keselamatan (baik kepada diri sendiri, kepada orang lain, juga kepada lingkungan hidup kita..). Setiap orang yang beragama dengan cara demikian, tak peduli dia itu secara lahiriah adalah Budha, Kristen, atau Kejawen, pasti bisa sampai kepada Sangkan paraning dumadi (yaitu Gusti Allah). Apakah pemahaman seperti saya ini sesuatu yang bid’ah atau mengada-ada? Sebetulnya, kalau Kita pelajari, orang seperti Nurcholis Madjid, A. Syafii Maarif, Gus Dur, memahami seperti itu. Termasuk, yang punya pemahaman seperti itu adalah para ilmuwan Islam klasik seperti Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Mansyur Al Halaj, dll.

Saya beriman sepenuhnya kepada Allah, kepada Al Haq, kepada Al-Latief…Dzat yang Menggenggam Jiwa saya. dan saya berusaha tunduk patuh sepenuhnya kepada Dia, Namun, ekspresi atau manifestasi keimanan itu yang mungkin berbeda satu sama lain. Misalnya begini,tunduk kepada Allah itu, tak sama maknanya dengan meyakini atau menerima begitu saja ayat-ayat dalam Al Qur’an secara harfiyah. Allah yang Ahad itu tak bisa disekutukan, termasuk dengan Al Qur’an. Al Qur’an itu hanyalah salah satu tanda-tanda kebenaran, tapi bukan Al-Haq itu sendiri. Sementara itu, sesungguhnya di jagad raya ini bertebaran tanda-tanda kebenaran yang lain, dan itu mencerminkan sifat Allah sebagai Dzat Yang Maha Agung….yang Maha Besar…yang sungguh lisan dan pikiran ini tak bisa membatasi-Nya.

Saya telah belajar, bahwa menerima makna harfiyah Al Qur’an, kadang memang bisa menyesatkan…Pada faktanya…..sebagai contoh bahwa kadang Al Qur’an justru “menyesatkan” adalah dengan melihat perilaku mereka yang melakukan tindakan teror…seperti Imam Samudera, Amrozi Cs….atau mereka yang membakar Masjid milik Jemaat Ahmadiah baik di Indonesia maupun di Pakistan….itu merasa meyakini Al Quran dengan sepenuh hati. Mereka mengklaim tindakan mereka didasarkan pada Al Quran….dan faktanya, memang banyak ayat Al Qur’an yang secara harfiyah memuliakan jihad melawan kaum kafir…(dan mereka dengan sederhana memaknai bahwa merekalah yang mu’min, dan orang2 di luar mereka, khususnya yang beragama lain itu sebagai kafir…dan karena itu halal diperangi), apakah mereka itu benar-benar mengimani Al Qur'an? Atau mereka itu salah dalam memahami Al Qur’an? Jika mereka benar, apa argumentasinya? Jika Kita katakan mereka salah, atas dasar apa pula kita bisa mengatakan bahwa pemahaman mereka itu salah? yang jelas mereka itu hanya memahami makna harfiyahnya alqur'an. 

Jika memang Al Qur’an dan Al Hadits itu pasti membawa pada kebenaran…tentulah umat islam sendiri tak akan berpecah belah seperti sekarang dan terlibat dalam pertikaian yang panjang. Coba Kita lihat, bagaimanakah sosok seorang Murtadha Muthahari di mata Kaum Wahabi? Seseorang yang oleh sebuah kelompok dipandang mulia, oleh kelompok lain bisa dipandang hina…padahal kedua kelompok itu sama-sama mengaku kembali kepada Al Qur’an dan Al hadits.

Dan sebetulnya, kita bisa melihat fenomena yang aneh semenjak masa awal sejarah Islam. Coba beri saya penjelasan…bagaimana mungkin seorang menantu nabi sekaligus sepupu terkasih nabi Muhammad, yaitu Imam Ali, bisa berperang dengan Ummul Mu’minin Aisyah…dalam perang Jamal? Dan bacalah dalam berbagai kitab sejarah, betapa perang itu demikian sengit, memakan korban banyak sekali, dan tak sedikit manusia ternistakan. Menurut kita, siapa di antara mereka yang bertikai itu yang mengikuti Al Qur’an dan Al hadits? Salah satunya? Yang mana? Atau dua-duanya? Jika dua-duanya, maka kita bisa “meneladani” mereka: ikhtilaf dalam pemahaman terhadap Al Qur’an dan Al Hadits “harus” diselesaikan lewat peperangan!!

Akhirnya, saya berkesimpulan, bahwa pemahaman kita terhadap Al Qur’an dan Al hadits, kadang bisa menjadi ilusi, sesuatu yang menyesatkan, membuat kita justru bisa makin jauh dari kebenaran itu sendiri. Mengapa itu terjadi? Karena kita yang mencoba memahaminya ternyata masih kotor hatinya…masih diperangkap oleh hawa nafsu…belum suci!

Karena itu…..sungguh bijaksana jika kita terus berupaya mensucikan diri kita, memperbaiki laku lampah kita, sehingga pada akhirnya, pemahaman kita terhadap semua ayat Tuhan itu bisa kian mendekati kebenaran yang sejati. Nah, selama proses perjalanan kita ke arah itu, sungguh bijaksana juga jika kita menjadi tawadhu…dan bisa menghargai proses perjalanan setiap orang, termasuk jalan yang ditempuh setiap orang.

Akhir kita, saya bersaksi bahwa Cahaya di Atas Cahaya itu hanyalah Gusti Allah itu sendiri, Tuhan itu sendiri (dan Dia juga yang disebut dengan Hyang Widhi, God, atau apapun…)
Sementara Al Qur’an dan al Hadits…tak lebih dari petunjuk terhadap kebenaran. Setara dengan dedaunan….gunung..lautan…termasuk setara dengan segenap kebenaran yang muncul dari hati nurani siapapun!

Sekali lagi….Al Qur’an dan Al Hadits itu bagi saya tak lebih dari dilalah atau petunjuk untuk menemukan kebenaran (Al Haq) tapi bukan Al Haq itu sendiri.

Arwah Ft Software

Guru sejati tidak ubahnya rasa sejati… (sang hidup/nyawa). Dia ibarat sumberdaya (kalau komputer ya sumber listriknya agar komputer bisa hidup). Jika Sang Pencipta diibaratkan matahari, maka rasa sejati adalah sinarnnya yang menerangi dunia, di mana sinar itu berwujud rasa sejati pada semua makhluk hidup tanpa terkecuali.

Sementara sukma adalah sebuah ‘materi gaib’ (atau biasa disebut roh) yang terbentuk dalam diri manusia, yang berfungsi sebagai software bagi perangkat keras (otak, tangan, kaki, mata, hidung dsb).

Maka jika ada orang yang bisa ilmu raga sukma, maka sukmanya bisa keluar dari tubuh, namun tubuh orang tersebut tidak mati, alias masih bernapas. Ini yang keluar adalah sukmanya, bukan rasa sejatinya. Atau orang yang mati koma, maka sukmanya atawa softwarenya tidak bisa bekerja sempurna, meski hardwarenya masih lengkap, namun dia tetap bisa bernapas.

Otak adalah hardware, sementara akal pikiran adalah softwarenya, mata adalah hardware sementara indera penglihatan adalah softwarenya. Maka jika ada orang punya hardware (mata) namun tidak ada softwarenya, maka dia tidak bisa melihat, alias instal software dari Sang Pencipta tidak sempurna. Sama seperti printer yang dicolokkan ke CPU namun tidak bisa digunakan karena tidak ada softwarenya. Kumpulan software inilah yang disebut sukma (ini kata almarhum ayah saya lo), kalau dalam komputer disebut sistem operasi lah (semacam windows gitu)

Nah, software ini berkembang sesuai usia, berasal dari bumi (sari-sari makanan). Bayi belum memiliki dendam atau benci atau iri hati karena softwarenya masih sederhana, namun bayi memiliki rasa panas yang sama dengan manusia dewasa jika terslomot api, atau memiliki rasa haus yang sama dengan manusia dewasa. Jadi kita bisa membedakan mana yang rasa sejati ‘langsung’ anugerah dari Sang Pencipta, dan software yang tidak
langsung alias melalui proses dulu.

Jika rasa sukma tergantung pada panca indera (rasa marah, benci, suka tergantung apa yang dengar, lihat dan pikirkan), maka rasa sejati adalah energi sejati yang diam, statis dan kosong. Kosong di sini berarti tentram. Makanya jika anda tidak tentram, berarti ada yang mengusik rasa sejati (hati nurani) kita. Meski otak dan pikiran mencoba memanipulasi atau membantah, hati nurani tidak bisa berbohong.

Maka arwah-arwah penasaran bisa dikatakan sekumpulan software-software yang lepas dari raga dan tidak tahu arah tujuannya. Sementara sang rasa sejati kembali ke asal energinya. Jika komputer dimatikan, maka energi listriknya kembali ke generatornya (PLTU). Bagaimana supaya tidak menjadi arwah penasaran? Ya harus banyak-banyak mendengarkan rasa sejatinya.. jangan memperbesar nafsu softwarenya…

Rasa sejati selalu memberi warning dengan cara sederhana, yakni jika anda mulai menyinggung kondisi nol alias mengusik ketentraman rasa dalam hati anda, berarti anda berbuat salah. Jika anda berbuat sesuatu dan anda tentram, berarti tidak ada apa-apa alias damai-damai saja. Gitu aja kok.

Jumat, 13 April 2012

AGAMA tanpa ILMU

Tujuan beragama bukanlah kekerasan baik fisik maupun ucapan, namun Keluhuran Akhlaq prilaku yang menjadi tujuannya, adapun ketegasan adalah pada diri sendiri sebagai tanggung jawab individu dengan Tuhan nya, sedangkan pada orang lain sifat nya hanya mengajak mengingatkan dan menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang maruf(kebijakan),’sehingga melahirkan sikap kebajikan, sebab islam tiadalah paksaan, baik memeluk nya, maupun faham dan pendapat.

Berbeda pendapat itu pasti, karena adanya sifat kecenderungan manusia untuk memilih sesuatu yang sesuai dengan dirinya, namun tatkala pendapat dan faham kita berbeda dengan orang lain maka di sanalah kebijakan dan kebajikan akan berbicara. Namun yang harus lebih difahami adalah konteks Islam itu sendiri, yakni islam dalam pengertian konsep dan esensi yang meliputi fitrah setiap insaan, dimana fitrah tsb adalah merupakan landasan dan pondasi untuk menangkap ajaran kebenaran Tuhan sejak manusia pertama Adam, dimana saat itu belum tercetus kata islam, namun Adam telah menerima pengajaran dari Tuhan dalam pertaubatan.

Maka menurut Tarikh pula bahwa kata Islam (muslimun) dicetuskan oleh Nabi Ibrahim as, yang pengertiannya berserah diri, yakni kepada Tuhan Yang Maha Tunggal dengan Nama Tuhan yang berkembang dalam berbagai istilah dan konsonan kata serta bahasa yang berkembang saat itu,Eli….., Elohim, hingga membudaya dimasyarakat bangsa yahudi, kaum Nasrani, dan bangsa Arab Qurays dengan Nama ALLAH, sehingga lafadz Allah itu sendiri menunjukan nama Tuhan.

Namun perlu kita sadari dengan sepenuhnya Bahwa Tuhan Yang Maha Tuggal pun berbeda penyebutan Nama nya ditiap-tiap wilayah dunia ini, termasuk di Nusantara, baik dalam perkembangan agama Hindu Budha, ajaran Kejawen, Kisunda, ataupun melalui kearifan lokal, pada konsep utamanya tetap mengedepankan pemasrahan diri secara totalitas, dan mengutamakan prilaku luhur. Karena sesungguhnya Tuhan itu sendiri tak punya Nama, tak bertempat, tak berupa, tak berwarna (Dzat laysa kamitslihi), melalui Sifat dan Perbuatannya pada kehidupan ini termasuk dalam diri manusia dan seluruh ciptaannya, maka Nama Tuhan itu dapat dikenali dengan Nama dan Panggilan sesuai perkembangan tradisi budaya dan peradaban dimana manusia itu berada, sedang Tuhan itu sendiri tetaplah Tunggal.

Sehingga kita semua dapat memahami salah satu benang merah nya, antara berbagai agama di dunia ini, baik sejak manusia pertama Adam, Ibrahim, dan khataman Nabiyin Muhammad saw yang melengkapi bangunan sebuah agama dan menyempurnakannya, bahwa Beliau Muhammad saw diturunkan untuk meluruskan dan menyempurnakan Keluhuran Akhlaq manusia.

Dalam konsep agama langit mengapa para Nabi turun disana, tentu semua sudah memahami bagai mana kondisi bangsa-bangsa timur tengah dari sejak Adam s/d saat ini, dengan berbagai kerusakan moral, pertikaian yang tak kunjung selesai, bahkan telah terjadi sentimenisme dan fanatisme dalam agama yang berubah menjadi warna dan icon sebuah suku dan bangsa, dimana sejak jaman Bapak para Nabi(Ibrahim as) kata islam/muslimun menunjukan keyakinan sebuah agama telah bergeser dan punah menjadi Nama sebuah tempat dan ciri khas suku bangsa (Yahudi & Nashoro) , sehingga warna agama sudah tak original karena pengaruh nafsu aqal fikiran manusia. Demikian pula Islam kini yang dikenal di Saudi Arabia telah menjadi warna dan Icon dari Risalah Nabi Muhammad saw, padahal kita fahami Nabi Muhammad hanyalah melengkapi dan menyempurnakan ajaran Millah Ibrahim, bahkan menegaskan keyakinan sejak Nabi Adam dimana keyakinan itu belum mempunyai nama.

Seorang yang mengaku beragama tentu harus mengenali perjalanan agama nya, agama bukan saja sebuah aturan hukum yang konkrit, namun disana terdapat nilai spiritual yang diharuskan percaya kepada hal Ghoib (Alladzina yu’minuuna bil ghaybi). Melalui kemampuan spiritual nya diharapkan manusia akan lebih mampu untuk bersikap bijaksana dalam tindakan yang ma’ruf. Karena telah mampu memahami alam kehidupan dalam berbagai dimensi, baik alam makro(jagat raya) maupun alam mikro (manusia) .

Ma’ruf satu akar kata dengan ‘araf, arif, ma’rifah, yang artinya tahu dan mengetahui , namun lebih dari itu ternyata tak cukup hanya mengetahui tapi harus mengenal (Makrifat) yang semua itu ditandai dengan huruf lafadz “AL” (Alif & Lam) yang disebut Isim makrifat. Semua itu dapat dikenali dalam berbagai kata dan kalimat yakni : Al- ISlam, Al-Qurán, Al-Kitab, dan nama Tuhan itu sendiri yang dikenal dengan Al-Illahu(Allah). pada Asmaúl husnaa. Ini semua kita kenal dan fahami dalam tata bahasa Arab(umum) dan Tata Bahasa Alqurán (sastra), sebagai bahasa Ibu, demikian firman Tuhan menjelaskan bahwa : “tidak semata-mata aku turunkan Alqurán dalam Bahasa Arab agar kamu sekalian menggunakan Aqal”.. Ternyata tidaklah mudah memahami Alqurán tidak cukup pindah bahasa saja, selain ilmu tajwid, tafsir, balaghoh, badi, ma‘ani, mantiq, filsafat, tarikh, asbabun nuzul, dan cabang-cabang ilmu lainya, yang tujuannya mencari pendekatan kebenaran melalui aqal fikiran. Lebih dari itu pengetahuan memahami bahasa rumus kodrat alam melalui pengolahan hati nurani, dengan ketajaman rahsa dimana firman Tuhan menegaskan bahwa Alquránnul adzim berada di dalam dada orang-orang yang ber-ilmu….???(Qs)

Sekarang bagai mana persoalannya dengan agama dan keyakinan yang diluar agama langit…?, yang disebut dengan istilah agama bumi yang tumbuh secara alamiah, baik hindu, budha, konghucu, zoroaster, atau yang tumbuh dalam kearifan lokal melalui peradaban tradisi dan budaya seperti ajaran Kejawen, Kisunda, atau agama buhun Sunda Wiwitan di desa kanekes lebak banten jabar, dimana keyakinan mereka masih menganut asal usul agama Nabi Adam.

Siapa Tuhan mereka…?, apakah mereka menemukan Tuhan …?, apakah Tuhannya berbeda…?. Tentu bagi kaum beragama yang jiwa spritual nya cerdas akan mampu memahami itu semua, karena mereka bukan saja berpedoman terhadap dalil yang tersurat dalam Kitab Suci, namun mereka mampu mengetahui dan memahami serta mampu berkomuniskasi melalui dalil-rumus kodrat alam sebagai ayat yang tersirat di alam kehidupan ini dengan sangat jelas dan nyata, tak bergeser sepermilyar milipun sebagai sunatullah dalam kehidupan.

Sebalik nya bagai mana mereka yang tak memahami dan tak mampu berkomunikasi melalui rumus kodrat alam sebagai ayat-ayat tersirat…?, lihat sajalah buktinya, agama dan kitab suci telah menjadi produk aqal fikiran, dan berubah menjadi identitas sebuah wilayah, suku bangsa, kelompok, golongan, aliran, mahzab-mahzab yang beragam dan berserakan bahkan telah merusak tatanan politik, ekonomi, geografis, pertikaian, permusuhan, peperangan, pembantaian, yang semua itu bersumber dari AGAMA tanpa ILMU.

Maka disini Ilmu pengetahuan menjadi peranan yang sangat penting sekali dalam memahami sebuah agama, sebagai mana dalil nya “awalu dini ma’rifatullahi ta’ala” (awal nya agama adalah mengenal Tuhan nya).. Ilmu pengetahuan agama yang diproduk oleh otak, hanyalah merupakan hafalan dan referensi saja, yang masih tertutupi oleh kebodohan, masih perlu dibuktikan di alam raya sebagai ayat-ayat tersirat, melalui kecerdasan spiritual, kemampuan intuisi, ketajaman mata hati, melalui pengolahan jiwa dalam qolbu nya. Sehingga manusia yang cerdas spritual nya(Fathonah) akan mampu bersikap arif bijaksana. Arif karena terjadi proses tahu mengetahui dan mengenal, bijak dalam memutuskan, dan selalu mengutamakan kebajikan dalam perbuatannya.

Bila manusia telah memahami siapa dirinya akan mampu memahami Tuhannya (man arofa nafsahu faqod arofa Robbahu), dan siapa manusia yang telah mengetahui Tuhannya maka dirinya akan merasa bodoh (man arofa Robbahu, faqod jahilan nafsahu). Karena manusia telah saling menyadari bahawa tiap-tiap dirinya terdapat sifat-sifat keagungan Tuhan dalam fitrah nya, yang harus dipelihara dengan akhlaq prilaku yang luhur(habluminanas) dan selalu ditegakan dalam ibadah nya (habluminallah). .

Atas kesadaran itu semua manusia akan selalu memelihara kerukunan dan kedamaian, tiada fanatisme, tiada perdebatan, tiada buruk sangka, tiada mengkafirkan, antara satu agama dan agama lainnya, baik itu agama bumi (sayid Anwar/Sanghyang Nurasa) maupun agama langit(Sayid Anwas/Sanghyang Nurcahya), karena semua nya akan berujung kepada satu muara , yakni keyakinan dan ketauhidan Nabi Syith as (Sanghyang Sita) sebagai ayah nya, dan Putra dari Bapak Adam as.(Sanghyang Adama)

Kewajiban kita semua yang mengaku ber agama adalah menemukan benang merah dari agama langit dan agama bumi, melalui cahaya ilahi dan rahsa sejati, dalam kesempuranaan hidupInsaan kamil hingga mencapai Kamil Mukamil (Mukswa) , dimana semua proses spritual nya telah dibahas panjang lebar di berbagai artikel Blog Nya Mas Sabda Langit.

Mohon maaf dan idzinnya tulisan ini terlelu panjang kepada @Mas Sabda, dan para pembaca, serta maafkan bila terdapat salah kata 
Wassalam,

Berlindung Dibalik Dalil Alqurán

Kembali ke Alqurán dan hadits memang menjadi moto utama bagi umat islam , namun sangat disayangkan terkadang memang benar bahwa aqal fikiran menjadi nanar dan nyasar bagi yang tak mampu memahami tafsir makna & takwil nya, apalagi bila tak memahami asbabun nuzulnya(sikon) turunnya ayat tsb. Sehingga dalil hadits hanya di translate pindah bahasa saja tanpa mampu memahami jauh kedalam kebenaran yang sebenar-benarnya secara haqikat. Tentu pemahaman haqikat bukan wilayah otak, tapi lebih ke intuisi dan Qalbu.

Semua nasehat akan selalu mengatakan kembali kepada Allah & Rasulnya adalah diterjemahkan dengan kembali kepada dalil Alqurán dan Hadits, sehingga Alqurán dan hadits bagaikan berhala, sedangkan dalil Alquran tsb masih terbungkus dan terkhijab oleh kebodohan otak manusia yang masih perlu untuk dipecahkan melalui berbagai macam disiplin ilmu tasir, belum lagi ditambah oleh polesan sikap prilaku(akhlaqul kharimah) untuk menghindari, sikap sikap fanatik buta yang merupakan dinding pemikiran, sifat egoisme, merasa paling benar, dan yang tidak sepaham atau diluar islam maka dihukumi kafir masuk neraka, seakan-akan agama ini adalah satu-satu nya agama paling uptodate paling benar, sampai sampai untuk sekedar masuk surga harus merusak, mengebom dan membantai orang-orang yang tak berdosa.

Sebagai umat islam tentu sangat prihatin atas semua klaim-klaim untuk mencari pembenaran diri, sehingga dalil-dalil ayat suci menjadi alasan untuk membenarkan faham diri sendiri, sehingga yang tampak hanya sebuah doktrin dan dogma yang timbul dari aqal pemikiran yang sempit untuk berlindung dibalik dalil Alqurán.

Sesuai dengan buktinya, maka tak aneh bila yang katanya agama paling benar itu malah terpecah belah menjadi bermacam-macam dalam kelompok golongan aliran yang membiungungkan umat, yang masing-masing nya mengklaim dirinya paling benar.

Sikap fanatik dan egoisme merasa paling benar, menurut ahli psikologi adalah merupakanpenyakit hambatan perkembangan jiwa, sehingga jiwa-jiwa yang seharusnya merdeka dan dewasa menjadi lemah daya spiritual nya, karena doktrin dan dogma telah menjadi ciri sikap prilakunya yang jauh dari sifat fathonah (Jiwa yang cerdas), selalu monoton tidak berkembang nalarnya, kaku, dan terkunci oleh doktrin dalil ayat yang masih terbungkus oleh khijab kebodohan.

Rasulullah saw berpesan agar anak keturunan kita terhindar dari lemah nalar.
Karena agama tanpa ilmu akan rusak, demikian pua sebalik nya, tentu ilmu disini bukan hanya sekedar hafalan dalil dan ayat yang memenuhi otak tanpa makna, namun pengetahuan akanhaqikat dari sesuatu yang tak tampak secara kongkrit di mata, namun tampak oleh penglihatan hati nurani. Seperti apa yang di tegaskan oleh Alqurán pula bahwa :
Alqurán berada di dalam dada orang-orang yang ber ilmu

Semoga umat islam ini benar-benar menyadari bahwa dalam kehidupan yang kompleks di berbagai dimensi alam , umat islam mampu memahami agama dan kitab sucinya, karena Alqurán hanyalah petunjuk saja, yang masih harus dibuktikan melalui dalil ayat yang tersirat di alam kehidupan ini sesuai pa yang telah ditunjukan.

Mohon maaf bila terdapat kesalahan kata dan kalimat,
Wabillahit taufik wal hidayah
Salam…….

SEJATINYA GURU SEJATI

HAKEKAT GURU SEJATI

Kembali pada pembahasan Guru Sejati. Melalui 3 langkahnya (Triwikrama) Dewa Wishnu (Yang Hidup), mengarungi empat macam zaman (kertayuga, tirtayuga, kaliyuga, dwaparayuga), lalu lahirlah manusia dengan konstruksi terdiri dari fisik dan metafisik di dunia (zaman mercapada). Fisik berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah roh beserta unsur-unsur yang lebih rumit lagi. Ilmu Jawa melihat bahwa roh manusia memiliki pamomong (pembimbing) yang disebutpancer atau guru sejati. Pamomong atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh atau sukma. Roh atau sukma di siram “air suci” oleh guru sejati, sehingga sukma menjadi sukma sejati. Di sini tampak Guru sejati memiliki fungsi sebagai resources atau sumber “pelita” kehidupan. Guru Sejati layak dipercaya sebagai “guru” karena ia bersifat teguh dan memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir). Guru Sejati adalah proyeksi dari rahsa/rasa/sirr yang merupakan rahsa/sirr yang sumbernya adalah kehendak Tuhan; terminologi Jawa menyebutnya sebagai Rasa Sejati. Dengan kata lain rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning” Tuhan (sirrullah). Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan “mewarnai” energi hidup atau roh menjadi energi suci (roh suci/ruhul kuddus). Roh kudus/roh al quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –dalam konteks ini hakikat rasa sejati– maka peranan roh tersebut tidak lain sebagai “utusan Tuhan”. Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat dengan sukma sejati atau dalam terminologi Arab disebut ruh al quds. Disebut juga sebagai an-nafs an-natiqah, dalam terminologi Arab juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa. Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh manusia. Jiwa yang ditundukkan oleh nafsu hanya akan merubah karakternya menjadi jahat.

Menurut ngelmu Kejawen, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati. Guru Sejati benar-benar bisa mewujud dalam bentuk “halus”, wujudnya mirip dengan diri kita sendiri. Mungkin sebagian pembaca yang budiman ada yang secara sengaja atau tidak pernah menyaksikan, berdialog, atau sekedar melihat diri sendiri tampak menjelma menjadi dua, seperti melihat cermin. Itulah Guru Sejati anda. Atau bagi yang dapat meraga sukma, maka akan melihat kembarannya yang mirip sukma atau badan halusnya sendiri. Wujud kembaran (berbeda dengan konsep sedulur kembar) itu lah entitas Guru Sejati. Karena Guru Sejati memiliki sifat hakekat Tuhan, maka segala nasehatnya akan tepat dan benar adanya. Tidak akan menyesatkan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. Bagi yang belum bisa bertemu Guru Sejati, anda jangan pesimis, sebabGuru Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan berupa sinyal dan getaran melalui Hati Nuranianda. Maka anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang anda hadapi.

Namun permasalahannya, jika kita kurang mengasah ketajaman batin, sulit untuk membedakan apakah yang kita rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping rahsa) ataukah kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep). Artinya, Guru Sejati menggerakkan suara hati nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak lain merupakan rahsaning karep atau rasanya keinginan.

Sarat utama kita bertemu dengan Guru Sejati kita adalah dengan laku prihatin; yakni selalu mengolah rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara membersihkan hati dari hawa nafsu, dan menjaga kesucian jiwa dan raga. Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih.

SEDULUR; PAPAT KEBLAT, LIMA PANCER

Atau Keblat Papat,Lima Pancer, di lain sisi diartikan juga sebagai kesadaran mikrokosmos. Dalam diri manusia (inner world) sedulur papat sebagai perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan di muka bumi. Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air ketuban atau air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera disusul oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi lahir juga disertai keluarnya darah dan daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur kembarnya. Jika ke-empat unsur disatukan maka jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur kelima yakni pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa; dalam pandangan Jawa doa merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus melibatkan unsur semua unsur raga dan jiwa secara kompak. Maka untuk mengawali suatu pekerjaan disebut dibutuhkan sikap amateg aji (niat ingsun) atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan/rencana/usaha). Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa untuk mengawali suatu pekerjaan berat maupun ringan diawali dengan mengucap; kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe ….

MENGOLAH GURU SEJATI

Guru Sejati yakni rahsa sejati; meretas ke dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira sepadan dengan makna roh kudus (ruhul kudus/ruh al quds). Kita mendayagunakan Guru Sejatikita dengan cara mengarahkan kekuatan metafisik sedulur papat (dalam lingkup mikrokosmos) untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh hawa nafsu. Bersamaan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan kekuatan makrokosmos yakni papat keblat alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang bersifat transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu lauwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (al mutmainah). Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan frekuensinya dengan gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma kita sesuai dengan karakter dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci, yang telah meretas ke dalam sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang Khaliq yang (minimal) meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut manunggaling kawula-Gusti.

Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘manunggaling kawula Gusti’ atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna.

Sebagai upaya manunggaling kawula gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata, bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar supaya mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah, supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kejawen mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam “bulan suci Ramadhan”. Artinya, semangat dan kegigihan melakukan kebaikan, membelenggu setan (hawa nafsu) hendaknya dilakukan sepanjang hidupnya, jangan hanya sebulan dalam setahun. Selesai puasa lantas lepas kendali lagi. Pencapaian hidup manusia pada tataran tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan kehendakNya, manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. Yakni substansi dari manunggaling kawula gusti sebagai ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen khususnya dalam anasir ajaran Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam Guru Sejati, sukma sejati.

TANDA PENCAPAIAN SPIRITUALITAS TINGGI

Keberhasilan mengolah Guru Sejati, tatarannya akan dapat dicapai apabila kita sudah benar-benar ‘lepas’ dari basyor atau raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad. Bukan berarti kita harus meninggalkan segala kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi, itu salah besar !! Sebaliknya, kehidupan duniawi menjadi modal atau bekal utama meraih kemuliaan baik di dunia maupun kelak setelah ajal tiba. Maka seluruh kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi sudah tidak dicemari oleh hawa nafsu. Kebaikan yang dilakukan tidak didasari “pamrih”; sekalipun dengan mengharap-harap iming-iming pahala-surga, atau takut ancaman dosa-neraka. Melainkan kesadaran makrokosmos dan mikrokosmos akan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, hendaklah memposisikan diri bukan sebagai seteruNya, tetapi sebagai “sekutuNya”, sepadan dan merasuk ke dalam gelombang Ilahiah. Kesadaran spiritual bahwa kemuliaan hidup kita apabila kita dapat bermanfaat untuk kebaikan bagi sesama tanpa membeda-bedakan masalah sara. Orang yang memiliki kesadaran demikian, hakekat kehendaknya merupakan kehendak Tuhan. Apa yang dikatakan menjadi terwujud, setiap doa akan terkabul. Ucapannya diumpamakan “idu geni” (ludah api) yang diucapkan pasti terwujud. Kalimatnya menjadi “Sabda Pendita Ratu”, selalu menjadi kenyataan.

Selain itu, tataran tinggi pencapaian “ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai wujud “diri” kita sendiri, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. Lebih dari itu, kita dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai “mursyid” yang tidak akan pernah bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan relung ’sastra jendra hayuning rat’ yakni ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu, karena mata (batin) kita akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta, sekalipun tertutup oleh pandangan visual manusia maupun teknologi.

Tanda-tanda pencapaian itu antara lain, kadang seseorang diizinkan Tuhan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang, melalui vision, mimpi, maupun getaran hati nurani. Semua itu dapat merupakan petunjuk Tuhan. Maka tidak aneh apabila di masa silam nenek moyang kita, para leluhur bumi nusantara yang memperoleh kawaskitan, kemudian menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno berupa; suluk, serat, dan jangka atau ramalan (prediksi). Jangka atau prediksi diterima oleh budaya Jawa sebagai anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai peringatan Tuhan, agar supaya manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu eling-waspadha dan melakukan langkah antisipasi.

PENTINGKAH GURU SEJATI ?

Peran Guru Sejati sudah jelas saya paparkan di awal pembahasan ini. Namun demikian perlu kami kemukakan betapa pentingnya Guru Sejati dalam kehidupan kita yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita berlabuh dalam samudra kehidupan yang penuh dengan marabahaya. Kita harus selalu eling dan waspadha, sebab setiap saat kemungkinan terburuk dapat menimpa siapa saja yang lengah. Guru Sejati akan selalu memberi peringatan kepada kita akan marabahaya yang mengancam diri kita. Guru Sejati akan mengarahkan kita agar terhindar dari malapetaka, dan bagaimana jalan keluar harus ditempuh. Karena Guru Sejati merupakan entitas zat atau energi kebaikan dari pancaran cahaya Illahi, maka Guru Sejati memiliki kewaskitaan luarbiasa. Guru Sejati sangat cermat mengidentifikasi masalah, dan memiliki ketepatan tinggi dalam mengambil keputusan dan jalan keluar. Biasanya Guru Sejati “bekerja” secara preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya tidak melangkah menuju kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan, malapetaka, atau musibah.

ANASIR ASING

Konsep tentang guru sejati sebagaimana ajaran Jawa, dapat ditelusuri melalui konsepsedulur papat lima pancer, dalam konsep pewayangan yang makna dan hakikatnya dapat dipelajari sebagaimana tokoh dalam Pendawa Lima (lihat dalam tulisan Pusaka Kalimasadha). Namun demikian, dalam perjalanannya mengalami pasang surut dan proses dialektika dengan anasir asing yakni; Hindu, Budha, Arab. Leluhur bangsa kita memiliki karakter selalu positif thinking, toleransi tinggi, andap asor. Sehingga nenek moyang kita, para leluhur yang masih peduli dengan kearifan lokal, secara arif dan bijaksana mereka tampil sebagai penyelaras sekaligus cagar kebudayaan Jawa. Setelah Islam masuk ke Nusantara, ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur papat keblat kemudian diartikan pula sebagai empat macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah (biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau tali suhatas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi antara Kejawen dengan tradisi Arab disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan diaplikasikan ke dalam lambang aslinya yakni tokoh wayang; 1. Lauwamah = Dosomuko, 2. Amarah = Kumbokarno, 3. Supiyah = Sarpo Kenoko, 4. Mutma’inah = Gunawan Wibisono.

Tulisan ini saya persembahkan kepada seluruh pembaca yang budiman sebagai penambah referensi dan informasi untuk generasi bangsa. Karena kita sadari sulitnya mendapatkan referensi sehingga seringkali dalam beberapa pembahasan maknanya menjadi salah kaprah. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapapun, walau sedikit dan masih banyak kekurangan di sana-sini. Rahayu; sabdalangit

Selasa, 10 April 2012

Ada Apa dibalik Nusantara Dan Generasi Durhaka Nusantara


HUBUNGAN KEJAYAAN NUSANTARA
DENGAN PARA LELUHUR BANGSA
Prakata
Kematian bukanlah the ending atau “riwayat” yang telah tamat. Kematian merupakan proses manusia lahir kembali ke dimensi lain yang lebih tinggi derajatnya ketimbang hidup di dimensi bumi. Bila perbuatannya baik berarti mendapatkan “kehidupan sejati” yang penuh kemuliaan, sebaliknya akan mengalami “kehidupan baru” yang penuh kesengsaraan. Jasad sebagai kulit pembungkus sudah tak terpakai lagi dalam kehidupan yang sejati. Yang hidup adalah esensinya berupa badan halus esensi cahaya yang menyelimuti sukma. Bagi orang Jawa yang belum kajawan khususnya, hubungan dengan leluhur atau orang-orang yang telah menurunkannya selalu dijaga agar jangan sampai terputus sampai kapanpun. Bahkan masih bisa terjadi interaksi antara leluhur dengan anak turunnya. Interaksi tidak dapat dirasakan kecuali oleh orang-orang yang terbiasa mengolah rahsa sejati. Dalam tradisi Jawa dipahami bahwa di satu sisi leluhur dapat njangkung dan njampangi (membimbing dan mengarahkan) anak turunnya agar memperoleh kemuliaan hidup. Di sisi lain, anak-turunnya melakukan berbagai cara untuk mewujudkan rasa berbakti sebagai wujud balas budinya kepada orang-orang yang telah menyebabkan kelahirannya di muka bumi. Sadar atau tidak warisan para leluhur kita & leluhur nusantara berupa tanah perdikan (kemerdekaan), ilmu, ketentraman, kebahagiaan bahkan harta benda masih bisa kita rasakan hingga kini.
Ada Apa di Balik NUSANTARA
Bangsa Indonesia sungguh berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang ada di muka bumi. Perbedaan paling mencolok adalah jerih payahnya saat membangun dan merintis berdirinya bangsa sebesar nusantara ini. Kita semua paham bila berdirinya bangsa dan negara Indonesia berkat perjuangan heroik para leluhur kita. Dengan mengorbankan harta-benda, waktu, tenaga, pikiran, darah, bahkan pengorbanan nyawa. Demi siapakah ? Bukan demi kepentingan diri mereka sendiri, lebih utama demi kebahagiaan dan kesejahteraan anak turunnya, para generasi penerus bangsa termasuk kita semua yang sedang membaca tulisan ini. Penderitaan para leluhur bangsa bukanlah sembarang keprihatinan hidup. Jika dihitung sejak masa kolonialisme bangsa Baratdi bumi nusantara, para leluhur perintis bangsa melakukan perjuangan kemerdekaan selama kurang-lebih dari 350 tahun lamanya. Belum lagi jika dihitung dari era jatuhannya Kerajaan Majapahit yang begitu menyakitkan hati. Perjuangan bukan saja menguras tenaga dan harta benda, bahkan telah menggilas kesempatan hidup, menyirnakan kebahagiaan, memberangus ketentraman lahir dan batin, hati yang tersakiti, ketertindasan, harga diri yang diinjak dan terhina. Segala perjuangan, penderitaan dan keprihatinan menjadi hal yang tak terpisahkan karena, perjuangan dilakukan dalam suasana yang penuh kekurangan. Kurang sandang pangan, kurang materi, dan kekurangan dana. Itulah puncak penderitaan hidup yang lengkap mencakup multi dimensi. Penderitaan berada pada titik nadzir dalam kondisi sedih, nelangsa, perut lapar, kekurangan senjata, tak cukup beaya namun kaki harus tetap tegap berdiri melakukan perlawanan mengusir imperialism dan kolonialism tanpa kenal lelah dan pantang mengeluh. Jika kita resapi, para leluhur perintis bangsa zaman dahulu telah melakukan beberapa laku prihatin yang teramat berat dan sulit dicari tandingannya sbb ;
1. Tapa Ngrame; ramai dalam berjuang sepi dalam pamrih mengejar kepentingan pribadi.
2. Tapa Brata; menjalani perjuangan dengan penuh kekurangan materiil. Perjuangan melawan kolonialism tidak hanya dilakukan dengan berperang melawan musuh, namun lebih berat melawan nafsu pribadi dan nafsu jasad (biologis dan psikis).
3. Lara Wirang; harga diri dipermalukan, dihina, ditindas, diinjak, tak dihormati, dan nenek moyang bangsa kita pernah diperlakukan sebagai budak di rumahnya sendiri.
4. Lara Lapa; segala macam penderitaan berat pernah dialami para leluhur perintis bangsa.
5. Tapa Mendhem; para leluhur banyak yang telah gugur sebelum  merdeka, tidak menikmati buah yang manis atas segala jerih payahnya. Berjuang secara tulus, dan segala kebaikannya dikubur sendiri dalam-dalam tak pernah diungkit dan dibangkit-bangkit lagi.
6. Tapa Ngeli; para leluhur bangsa dalam melakukan perjuangan kepahlawanannya dilakukan siang malam tak kenal menyerah. Penyerahan diri hanya dilakukan kepada Hyang Mahawisesa (Tuhan Yang Mahakuasa).
Itulah kelebihan leluhur perintis bumi nusantara, suatu jasa baik yang mustahil kita balas. Kita sebagai generasi penerus bangsa telah berhutang jasa (kepotangan budhi) tak terhingga besarnya kepada para perintis nusantara. Tak ada yang dapat kita lakukan, selain tindakan berikut ini :
  1. Memelihara dan melestarikan pusaka atau warisan leluhur paling berharga yakni meliputi tanah perdikan (kemerdekaan), hutan, sungai, sawah-ladang, laut, udara, ajaran, sistem sosial, sistem kepercayaan dan religi, budaya, tradisi, kesenian, kesastraan, keberagaman suku dan budaya sebagaimana dalam ajaran Bhinneka Tunggal Ikka. Kita harus menjaganya jangan sampai terjadi kerusakan dan kehancuran karena salah mengelola, keteledoran dan kecerobohan kita. Apalagi kerusakan dengan unsur kesengajaan demi mengejar kepentingan pribadi.
  2. Melaksanakan semua amanat para leluhur yang terangkum dalam sastra dan kitab-kitab karya tulis pujangga masa lalu. Yang terekam dalam ajaran, kearifan lokal (local wisdom), suri tauladan, nilai budaya, falsafah hidup tersebar dalam berbagai hikayat, cerita rakyat, legenda, hingga sejarah. Nilai kearifan lokal sebagaimana tergelar dalam berbagai sastra adiluhung dalam setiap kebudayaan dan tradisi suku bangsa yang ada di bumi pertiwi. Ajaran dan filsafat hidupnya tidak kalah dengan ajaran-ajaran impor dari bangsa asing. Justru kelebihan kearifan lokal karena sumber nilainya merupakan hasil karya cipta, rasa, dan karsa melalui interaksi dengan karakter alam sekitarnya. Dapat dikatakan kearifan lokal memproyeksikan karakter orisinil suatu masyarakat, sehingga dapat melebur (manjing, ajur, ajer) dengan karakter masyarakatnya pula.
  3. Mencermati dan menghayati semua peringatan (wewaler) yang diwasiatkan para leluhur, menghindari pantangan- pantangan yang tak boleh dilakukan generasi penerus bangsa. Selanjutnya mentaati dan menghayati himbauan-himbauan dan peringatan dari masa lalu akan berbagai kecenderungan dan segala peristiwa yang kemungkinan dapat terjadi di masa yang akan datang (masa kini). Mematuhi dan mencermati secara seksama akan bermanfaat meningkatkan kewaspadaan dan membangun sikap eling.
  4. Tidak melakukan tindakan lacur, menjual pulau, menjual murah tambang dan hasil bumi ke negara lain. Sebaliknya harus menjaga dan melestarikan semua harta pusaka warisan leluhur. Jangan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, “menggunting dalam lipatan”.
  5. Merawat dan memelihara situs dan benda-benda bersejarah, tempat yang dipundi-pundi atau pepunden (makam) para leluhur. Kepedulian kita untuk sekedar merawat dan memelihara makam leluhur orang-orang yang telah menurunkan kita dan leluhur perintis bangsa, termasuk dalam mendoakannya agar mendapat tempat kamulyan sejati dan kasampurnan sejati di alam kelanggengan merupakan kebaikan yang akan kembali kepada diri kita sendiri. Tak ada  buruknya kita meluhurkan leluhur bangsa asing dengan dalih apapun; agama, ajaran, budaya, ataupun sebagai ikon perjuangan kemanusiaan. Namun demikian hendaknya leluhur sendiri tetap dinomorsatukan dan jangan sampai dilupakan bagaimanapun juga beliau adalah generasi pendahulu yang membuat kita semua ada saat ini. Belum lagi peran dan jasa beliau-beliau memerdekakan bumi pertiwi menjadikan negeri ini menjadi tempat berkembangnya berbagai agama impor yang saat ini eksis. Dalam falsafah hidup Kejawen ditegaskan untuk selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Mengerti asal muasalnya hingga terjadi di saat ini. Dengan kata lain ; kacang hendaknya tidak melupakan kulitnya.
  6. Hilangkan sikap picik atau dangkal pikir (cethek akal) yang hanya mementingkan kelompok, gender atau jenis kelamin, golongan, suku, budaya, ajaran dan agama sendiri dengan sikap primordial, etnosentris dan rasis. Kita harus mencontoh sikap kesatria para pejuang dan pahlawan bumi pertiwi masa lalu. Kemerdekaan bukanlah milik satu kelompok, suku, ras, bahkan agama sekalipun. Perjuangan dilakukan oleh semua suku dan agama, kaum laki-laki dan perempuan, menjadikan kemerdekaan sebagai anugrah milik bersama seluruh warga negara Indonesia.
Generasi Durhaka
Kesadaran kita bahwa bangsa ini dulunya adalah bangsa yang besar dalam arti kejayaannya, kemakmurannya, kesuburan alamnya, kekayaan dan keberagaman akan seni dan budayanya, ketinggian akan filsafat kehidupannya, menumbuhkan sikap bangga kita hidup di negeri ini. Namun bila mencermati dengan seksama apa yang di lakukan para generasi penerus bangsa saat ini terutama yang sedang memegang tampuk kekuasaan kadang membuat perasaan kita terpuruk bahkan sampai merasa tidak lagi mencintai negara Indonesia berikut produk-produknya. Di sisi lain beberapa kelompok masyarakat seolah-olah menginginkan perubahan mendasar (asas) kenegaraan dengan memandaang pesimis dasar negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa yang telah ada dan diretas melalui proses yang teramat berat dan berabad-abad lamanya. Golongan mayoritas terkesan kurang menghargai golongan minoritas. Keadilan dilihat dari kacamata subyektif, menurut penafsiran pribadi, sesuai kepentingan kelompok dan golongannya sendiri. Kepentingan yang kuat meniadakan kepentingan yang lemah. Kepentingan pribadi atau kelompok diklaim atas nama kepentingan rakyat. Untuk mencari menangnya sendiri orang sudah berani lancang mengklaim tindakannya atas dasar dalil agama (kehendak Tuhan). Ayat dan simbol-simbol agama dimanipulasi untuk mendongkrak dukungan politik. Watak inilah yang mendominasi potret generasi yang durhaka pada para leluhur perintis bangsa di samping pula menghianati amanat penderitaan rakyat. Celakanya banyak pecundang negeri justru mendapat dukungan mayoritas. Nah, siapa yang sudah keblinger, apakah pemimpinnya, ataukah rakyatnya, atau mungkin pemikiran saya pribadi ini yang tak paham realitas obyektif. Kenyataan betapa sulit menilai suatu ralitas obyektif, apalagi di negeri ini banyak sekali terjadi manipulasi data-data sejarah dan gemar mempoles kosmetik sebagai pemanis kulit sebagai penutup kebusukan.
“Dosa” Anak Kepada Ibu (Pertiwi)
Leluhur bumi nusantara bagaikan seorang ibu yang telah berjasa terlampau besar kepada anak-anaknya. Sekalipun dikalkulasi secara materi tetap terasa kita tak akan mampu melunasi “hutang” budi-baik orang tua kita dengan cara apapun. Orang tua kita telah mengandung, melahirkan, merawat, membesarkan kita hari demi hari hingga dewasa. Sedangkan kita tak pernah bisa melakukan hal yang sama kepada orang tua kita. Demikian halnya dengan para leluhur perintis bangsa. Bahkan kita tak pernah bisa melakukan sebagaimana para leluhur lakukan untuk kita. Apalagi beliau-beliau telah lebih dulu pergi meninggalkan kita menghadap Hyang Widhi (Tuhan YME). Diakui atau tidak, banyak sekali kita berhutang jasa kepada beliau-beliau para leluhur perintis bangsa. Sebagai konsekuensinya atas tindakan pengingkaran dan penghianatan kepada leluhur, sama halnya perilaku durhaka kepada ibu (pertiwi) kita sendiri yang dijamin akan mendatangkan malapetaka atau bebendu dahsyat. Itulah pentingnya kita tetap nguri-uri atau memelihara dan melestarikan hubungan yang baik kepada leluhur yang telah menurunkan kita khususnya, dan leluhur perintis bangsa pada umumnya. Penghianatan generasi penerus terhadap leluhur bangsa, sama halnya kita menabur perbuatan durhaka yang akan berakibat menuai malapetaka untuk diri kita sendiri.
Sudah menjadi kodrat alam (baca; kodrat ilahi) sikap generasi penerus bangsa yang telah mendurhakai para leluhur perintis bumi pertiwi dapat mendatangkan azab, malapetaka besar yang menimpa seantero negeri. Sikap yang “melacurkan” bangsa, menjual aset negara secara ilegal, merusak lingkungan alam, lingkungan hidup, hutan, sungai, pantai. Tidak sedikit para penanggungjawab negeri melakukan penyalahgunaan wewenangnya dengan cara “ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya agawe rekasa, tut wuri nyilakani”. Tatkala berkuasa menggunakan aji mumpung,  sebagai kelas menengah selalu menyulitkan orang, jika menjadi rakyat gemar mencelakai. Seharusnya ing ngarsa asung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.  Walaupun tidak semua orang melakukan perbuatan durhaka namun implikasinya dirasakan oleh semua orang. Sekilas tampak tidak adil, namun ada satu peringatan penting yang perlu diketahui bahwa, hanya orang-orang  yang selalu eling dan waspada yang akan selamat dari malapetaka negeri ini.
Rumus Yang Tergelar
Saya tergerak untuk membuat tulisan ini setelah beberapa kali mendapatkan pertanyaan sbb; apakah kembalinya kejayaan nusantara tergantung dengan peran leluhur ? jawabnya, TIDAK ! melainkan tergantung pada diri kita sendiri sebagai generasi penerus bangsa. Meskipun demikian bukan berarti menganulir peran leluhur terhadap nasib bangsa saat ini. Peran leluhur tetap besar hanya saja tidak secara langsung. Keprihatinan luar biasa leluhur nusantara di masa lampau dalam membangun bumi nusantara, telah menghasilkan sebuah “rumus” besar yang boleh dikatakan sebagai hukum atau kodrat alam. Setelah keprihatinan dan perjuangan usai secara tuntas, “rumus” baru segera tergelar sedemikian rupa. Rumus berlaku bagi seluruh generasi penerus bangsa yang hidup sebagai warga negara Indonesia dan siapapun yang mengais rejeki di tanah perdikan nusantara. Kendatipun demikian generasi penerus memiliki dua pilihan yakni, apakah akan menjalani roda kehidupan yang sesuai dalam koridor “rumus” besar atau sebaliknya, berada  di luar “rumus” tersebut. Kedua pilihan itu masing-masing memiliki konsekuensi logis. Filsafat hidup Kejawen selalu wanti-wanti ; aja duwe watak kere, “jangan gemar menengadahkan tangan”. Sebisanya jangan sampai berwatak ingin selalu berharap jasa (budi) baik atau pertolongan dan bantuan dari orang lain, sebab yang seperti itu abot sanggane, berat konsekuensi dan tanggungjawab kita di kemudian hari. Bila kita sampai lupa diri apalagi menyia-nyiakan orang yang pernah memberi jasa (budi) baik kepada kita, akan menjadikan sukerta dan sengkala. Artinya membuat kita sendiri celaka akibat ulah kita sendiri. Leluhur melanjutkan wanti-wantinya pada generasi penerus, agar supaya ; tansah eling sangkan paraning dumadi. Mengingat jasa baik orang-orang yang telah menghantarkan kita hingga meraih kesuksesan pada saat ini. Mengingat dari siapa kita dilahirkan, bagaimana jalan kisah, siapa saja yang terlibat mendukung, menjadi perantara, yang memberi nasehat dan saran, hingga kita merasakan kemerdekaan dan ketenangan lahir batin di saat sekarang. Sementara itu, generasi durhaka adalah generasi yang sudah tidak eling sangkan paraning dumadi.
Tugas dan Tanggungjawab Generasi Bangsa
Sebagai generasi penerus bangsa yang telah menanggung banyak sekali hutang jasa dan budi baik para leluhur masa lalu, tak ada pilihan yang lebih tepat selain harus mengikuti rumus-rumus yang telah tergelar. Sebagaimana ditegaskan dalam serat Jangka  Jaya Baya serta berbagai pralampita, kelak negeri ini akan mengalami masa kejayaan kembali yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, bilamana semua suku bangsa kembali nguri-uri kebudayaan, menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan lokal (local wisdom), masing-masing suku kembali melestarikan tradisi peninggalan para leluhur nusantara. Khususnya bagi orang Jawa yang sudah hilang kejawaannya (kajawan) dan berlagak sok asing, bersedia kembali menghayati nilai luhur kearifan lokal. Demikian pula suku Melayu, Dayak, Papua, Minang, Makasar, Sunda, Betawi, Madura, Tana Toraja, Dayak dst, kembali menghayati tradisi dan budaya lokal yang kaya akan nilai-nilai luhur. Bagaimanapun kearifan lokal memiliki kunggulan yakni lebih menyatu dan menjiwai (manjing ajur ajer) serta lebih mengenal secara cermat karakter alam dan masyarakat setempat. Desa mawa cara, negara mawa tata. Masing-masing wilayah atau daerah memiliki aturan hidup dengan menyesuaikan situasi dan kondisi alamnya. Tradisi dan budaya  setempat adalah “bahasa” tak tertulis sebagai buah karya karsa, cipta, dan karsa manusia dalam berinteraksi dengan alam semesta. Orang yang hidup di wilayah subur makmur akan memiliki karakter yang lembut, santun, toleran, cinta damai namun agak pemalas. Sebaliknya orang terbiasa hidup di daerah gersang, sangat panas, sulit pangan, akan memiliki karakter watak yang keras, temperamental, terbiasa konflik dan tidak mudah toleran. Indonesia secara keseluruhan dinilai oleh manca sebagai masyarakat yang berkarakter toleran, penyabar, ramah, bersikap terbuka. Namun apa jadinya jika serbuan budaya asing bertubi-tubi menyerbu nusantara dengan penuh keangkuhan (tinggi hati) merasa paling baik dan benar sedunia.  Apalagi budaya yang dikemas dalam moralitas agama, atau sebaliknya moralitas agama yang mengkristal menjadi kebiasaan dan tradisi. Akibat terjadinya imperialisme budaya asing, generasi bangsa ini sering keliru dalam mengenali siapa jati dirinya. Menjadi bangsa yang kehilangan arah, dengan “falsafah hidup” yang tumpang-tindih dan simpang-siur menjadikan doktrin agama berbenturan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang lebih membumi. Ditambah berbagai pelecehan konstitusi oleh pemegang tampuk kekuasaan semakin membuat keadaan carut-marut dan membingungkan. Tidak sekedar mengalami kehancuran ekonomi, lebih dari itu bangsa sedang menuju di ambang kehancuran moral, identitas budaya, dan spiritual. Kini, saatnya generasi penerus bangsa kembali mencari identitas jati dirinya, sebelum malapetaka datang semakin besar. Mulai sekarang juga, mari kita semua berhenti menjadi generasi durhaka kepada “orang tua” (leluhur perintis bangsa). Kembali ke pangkuan ibu pertiwi, niscaya anugrah kemuliaan dan kejayaan bumi nusantara akan segera datang kembali.
TRAH MAJAPAHIT
Dalam pola hubungan kekerabatan atau silsilah di dalam Kraton di Jawa di kenal istilah trah. Menurut arti harfiahnya trah adalah garis keturunan atau diistilahkan tepas darah dalem atau kusuma trahing narendra, yakni orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan atau keluarga besar secara genealogis dalam hubungan tali darah (tedhaking andana warih). Banyak sekali orang merasa bangga menjadi anggota suatu trah tertentu namun kebingungan saat menceritakan runtutan silsilah atau trah leluhur yang mana yang menurunkannya. Seyogyanya kita masih bisa menyebut dari mana asal-usul mata rantai leluhur yang menurunkan agar supaya dapat memberikan pengabdian kepada leluhur secara tepat. Dengan demikian rasa memiliki dan menghormati leluhurnya tidak dilakukan dengan asal-asalan tanpa mengetahui siapa persisnya nenek-moyang yang telah menurunkan kita, dan kepada leluhur yang mana harus menghaturkan sembah bakti. Jika kita terputus mengetahui mata rantai tersebut sama halnya dengan mengakui atau meyakini saja sebagai keturunan Adam, namun alur mata rantainya tidak mungkin diuraikan lagi. Mengetahui tedhaking andana warih membuat kita lebih tepat munjuk sembah pangabekti atau menghaturkan rasa berbakti dan memuliakan leluhur kita sendiri. Jangan sampai seperti generasi durhaka yakni orang-orang kajawan rib-iriban yang tidak memahami hakekat, kekenyangan “makan kulit”, menjunjung setinggi langit leluhur bangsa asing sekalipun harus mengeluarkan beaya puluhan bahkan ratusan juta rupiah tapi tidak mengerti makna sesungguhnya. Sungguh ironis, sementara leluhurnya sendiri terlupakan dan makamnya dibiarkan merana hanya karena takut dituduh musrik atau khurafat. Cerita ironis dan menyedihkan itu seketika raib tatkala sadar telah mendapatkan label sebagai “orang suci” dan saleh hanya karena sudah meluhurkan leluhur bangsa asing. Ya, itulah kebiasaan sebagian masyarakat yang suka menilai simbol-simbolnya saja, bukan memahami esensinya. Apakah seperti itu cara kita berterimakasih kepada leluhur yang menurunkan kita sendiri, dan kepada leluhur perintis bangsa? Rupanya mata hati telah tertutup rapat, tiada lagi menyadari bahwa teramat besar jasa para leluhur bangsa kita. Tanpa beliau-beliau pendahulu kita semua yang telah menumpahkan segala perjuangannya demi kehidupan dan kemuliaan anak turun yang mengisi generasi penerus bangsa rasanya kita tak kan pernah hidup saat ini.
Tolok ukur kejayaan nusantara masa lalu adalah kejayaan kerajaan Pajajaran, Sriwijaya dan Majapahit, terutama yang terakhir.  Trah atau garis keturunan kerajaan Majapahit yang masih eksis hingga sekarang, yakni kerajaan Mataram Panembahan Senopati di Kotagede Yogyakarta, Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran di kota Solo, generasi Mangkubumen yakni Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta. Semuanya adalah generasi penerus Majapahit terutama raja terakhir Prabu Brawijaya V. Berikut ini silsilah yang saya ambil secara garis besarnya saja ;
Prabu Brawijaya V mempunyai 3 putra di antaranya adalah :
1. Ratu Pembayun (Lajer Putri)
2. Raden Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub (Lajer Putra)
3. Raden Patah / Jin Bun / Sultan Buntoro Demak I (Lajer Putra; tetapi ibu kandung dari bangsa asing yakni; Putri Cempo dari Kamboja ; beragama Islam)
http://sabdalangit.wordpress.com
Trah Ratu Pembayun menurunkan 2 Putra :
1. Ki Ageng Kebo Kanigoro
2. Ki Ageng Kebo Kenongo/Ki Ageng Pengging
Ki Ageng Kebo Kenongo menurunkan 1 Putra: (Lajer Putri)
1. Mas Karebet / Joko Tingkir / Sultan Hadiwijoyo/ Sultan Pajang I (Lajer Putri)
Sementara itu Raden Patah / Jin Bun / Sultan Buntoro Demak I, menurunkan 2 Putera yakni :
(1) Pangeran Hadipati Pati Unus / Sultan Demak II
(2) Pangeran Hadipati Trenggono / Sultan Demak III
Keduanya penerus Demak – tetapi akhirnya putus alias demak runtuh karena pemimpinnya tidak kuat.
Kerajaan Demak hanya berlangsung selama 3 periode. Entah ada kaitannya atau tidak namun kejadiannya sebagaimana dahulu pernah diisaratkan oleh Prabu Brawijaya V saat menjelang puput yuswa. Prabu Brawijaya V merasa putranda Raden Patah menjadi anak yang berani melawan orang tua sendiri, Sang Prabu Brawijaya V (Kertabhumi), apapun alasannya. Maka Prabu Brawijaya V bersumpah bila pemerintahan Kerajaan Demak hanya akan berlangsung selama 3 dinasti saja (Raden Patah, Adipati Unus, Sultan Trenggono). Setelah itu kekuasaa Kerajaan Demak Bintoro akan redup dengan sendirinya. Hal senada disampaikan pula oleh Nyai Ampel Gading kepada cucunda Raden Patah, setiap anak yang durhaka kepada orang tuanya pasti akan mendapat bebendu dari Hyang Mahawisesa. Dikatakan oleh Nyai Ampel Gading, bahwa Baginda Brawijaya V telah memberikan 3 macam anugrah kepada Raden Patah yakni; 1) daerah kekuasaan yang luas, 2) diberikan Tahta Kerajaan, 3) dan dipersilahkan menyebarkan agama baru yakni agama sang ibundanya (Putri Cempa) dengan leluasa. Namun Raden Patah tetap menginginkan tahta Majapahit, sehingga berani melawan orang tuanya sendiri. Sementara ayahandanya merasa serba salah, bila dilawan ia juga putera sendiri dan pasti kalah, jika tidak dilawan akan menghancurkan Majapahit dan membunuh orang-orang yang tidak mau mengikuti kehendak Raden Patah. Akhirnya Brawijaya V memilih mengirimkan sekitar 3000 pasukan  saja agar tidak mencelakai putranda Raden Patah. Sementara pemberontakan Raden Patah ke Kerajaan Majapahit membawa bala tentara sekitar 30 ribu orang, dihadang pasukan Brawijaya V yang hanya mengirimkan 3000 orang. Akibat jumlah prajurit tidak seimbang maka terjadi banjir darah dan korban berjatuhan di pihak Majapahit. Sejak itulah pustaka-pustaka Jawa dibumihanguskan, sementara itu orang-orang yang membangkang dibunuh dan rumahnya dibakar. Sebaliknya yang memilih mengikuti kehendak Raden Patah dibebaskan dari upeti atau pajak. Senada dengan Syeh Siti Jenar yang enggan mendukung pemberontakan Raden Patah ke Majapahit, adalah Kanjeng Sunan Kalijaga yang sempat memberikan nasehat kepada Raden Patah, agar tidak melakukan pemberontakan karena dengan memohon saja kepada ayahandanya untuk menyerahkan tahta, pasti permintaan Raden Patah akan dikabulkannya. Hingga akhirnya nasehat tak dihiraukan Raden patah, dan terjadilah perang besar yang membawa banyak korban. Hal ini sangat disesali oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, hingga akhirnya memutuskan untuk berpakaian serba berwarna wulung atau hitam sebagai pertanda kesedihan dan penyesalan atas peristiwa tersebut.
http://sabdalangit.wordpress.com
Penerus Majapahit
Lain halnya nasib Raden Bondan Kejawan yang dahulu sebelum Sri Narpati Prabu Brawijaya V meninggal ia masih kecil dititipkan kepada putranda Betara Katong, dikatakan jika Betara katong harus menjaga keselamatan Raden Bondan Kejawan karena ialah yang akan menjadi penerus kerajaan Majapahit di kelak kemudian hari. Berikut ini alur silsilah Raden Bondan Kejawan hingga regenerasinya di masa Kerajaan Mataram.
Raden Bondhan Kejawan/Lembu Peteng Tarub-Dewi Nawang Sih (Dewi Nawang Sih adalah seorang putri dari Dewi Nawang Wulan-Jaka Tarub) (Lajer Putra)
menurunkan Putera :
1. Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo (Lajer Putra)
2. Dewi Nawang Sari (Kelak adl calon ibu Ratu Adil/SP/Herucakra)
Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo mempunyai 1 Putera:
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo (Lajer Putra)
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo mempunyai 1 Putera bernama:
Ki Ageng Anis (Ngenis) (Lajer Putra)
Ki Ageng Anis (Ngenis) mempunyai 2 Putera :
1. Ki Ageng Pemanahan / Ki Ageng Mataram
2. Ki Ageng Karotangan / Pagergunung I
tp://sabdalangit.wordpress.com
Ki Ageng Pemanahan / Mataram mempunyai 1 Putera:
Raden Danang Sutowijoyo / Panembahan Senopati/ Sultan Mataram I
Panembahan Senopati akhirnya menjadi generasi Mataram Islam (kasultanan) pertama yang meneruskan kekuasaan Majapahit hingga kini. Pada masa itu spiritualitas diwarnai nilai sinkretisme antara filsafat hidup Kejawen, Hindu, Budha dan nilai-nilai Islam hakekat sebagaimana terkandung dalam ajaran Syeh Siti Jenar, terutama mazabnya Ibnu Al Hallaj. Pada saat itu, hubungan kedua jalur spiritual masih terasa begitu romantis saling melengkapi dan belum diwarnai intrik-intrik politik yang membuyarkan sebagaimana terjadi sekarang ini.
Begitulah silsilah lajer putra dari Brawijaya V. Menurut tradisi Jawa wahyu keprabon akan turun kepada anak laki-laki atau lajer putra. Sedangkan Raden patah walaupun lajer putra tetapi dari Putri bangsa asing. Dan Raden Patah dianggap anak durhaka oleh ayahandanya Prabu Brawijaya Kertabhumi dan neneknya Nyai Ampel Gading. Namun demikian, bagi penasehat spiritualnya yakni Ki Sabdapalon dan Nayagenggong yang begitu legendaris kisahnya, pun Prabu Brawijaya walaupun secara terpaksa atau tidak sengaja telah menghianati para pendahulunya pula.
Dari pemaparan kisah di atas ada suatu pelajaran berharga untuk generasi penerus agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Artinya jangan sampai kita berani melawan orang tua, apalgi sampai terjadi pertumpahan darah. Karena dapat tergelincir pada perberbuatan durhaka kepada orang tua kita terutama pada seorang ibu, yakni ibu pertiwi. Dengan kata lain durhaka kepada para leluhur yang telah merintis bangsa dengan susah payah. Karena Tuhan pasti akan memberikan hukuman yang setimpal, dan siapapun tak ada yang bisa luput dari bebendu Tuhan.
Pralampita Leluhur Bangsa
Saya ingin mengambil beberapa bait dari serat Darmagandul yang unik dan menarik untuk dianalisa, sekalipun kontroversial namun paling tidak ada beberapa nasehat dan warning yang mungkin dapat menjadi pepeling bagi kita semua, khususnya bagi yang percaya. Bagi yang tidak mempercayai, hal itu tidak menjadi masalah karena masing-masing memiliki hak untuk menentukan sikap dan mencari jalan hidup secara cermat, tepat dan sesuai dengan pribadi masing-masing.
Paduka yêktos, manawi sampun santun gami selam,
nilar gamabudi, turun paduka tamtu apês,
Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes.
Benjing tamtu dipun prentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.
Paduka pahami, bila sudah memeluk gama selam, meninggalkan gamabudi,
Keturunan Paduka pasti mendapatkan sial, Jawa tinggal seolah-olah jawa,
nilai ke-Jawa-annya telah hilang, gemar nebeng bangsa lain
Besok tentu diperintah oleh orang Jawa yang memahami (Kejawa-an)
Cobi paduka-yêktosi, benjing: sasi murub botên tanggal,
wiji bungkêr botên thukul, dipun tampik dening Dewa,
tinanêma thukul mriyi, namung kangge têdha pêksi,
mriyi punika pantun kados kêtos,
amargi Paduka ingkang lêpat, rêmên nêmbah sela
Cobalah Paduka pahami, besok; sasi murub boten tanggal
Biji-bijian tidak tumbuh, ditolak oleh Tuhan
Walaupun ditanam yang tumbuh berupa padi jelek
Hanya jadi makanan burung
Karena Paduka lah yang bersalah, suka menyembah batu
Paduka-yêktosi, benjing tanah Jawa ewah hawanipun,
wêwah bênter awis jawah, suda asilipun siti,
kathah tiyang rêmên dora,
kêndêl tindak nistha tuwin rêmên supata,
jawah salah mangsa, damêl bingungipun kanca tani.
Paduka pahami, kelak tanah Jawa berubah hawanya,
Berubah menjadi panas dan jarang hujan, berkurang hasil bumi
Banyak orang suka berbuat angkara
Berani berbuat nista dan gemar bertengkar,
Hujan salah musim, membuat bingung para petani
Wiwit dintên punika jawahipun sampun suda,
amargi kukuminipun manusa anggenipun sami gantos agami.
Benjing yen sampun mrêtobat, sami engêt dhatêng gamabudi malih,
lan sami purun nêdha woh kawruh, Dewa lajêng paring pangapura,
sagêd wangsul kados jaman Budhi jawahipun”.
Mulai hari ini hujan sudah mulai berkurang,
Sebagai hukumannya manusia karena telah berganti agama
Besok bila sudah bertobat, orang-orang baru ingat kepada gamabudi lagi
Dan bersedia makan buahnya ilmu, maka Tuhan akan memberi ampunan
Kesuburan tanah dapat kembali seperti zaman gamabudi
http://sabdalangit.wordpress.com
Memahami Leluhur dan Kemusyrikan
Belajar dari pengalaman pribadi dan sebagaimana terdapat dalam tradisi Jawa, saya pribadi percaya bahwa leluhur masih dapat memberikan bimbingan dan arahan (njangkung dan njampangi) memberikan doa dan restu kepada anak turunnya. Komunikasi dapat berlangsung melalui berbagai media, ambil contoh misalnya melalui mimpi (puspa tajem), melalui keketeg ing angga, suara hati nurani, bisikan gaib, atau dapat berkomunikasi langsung dengan para leluhur. Barangkali di antara pembaca ada yang menganggap hal ini sebagai bualan kosong saja, bahkan menganggap bisikan gaib dipastikan dari suara setan yang akan menggoda iman. Boleh dan sah-sah saja ada pendapat seperti itu. Hanya saja tidak perlu ngotot mempertahankan tingkat pemahaman sendiri. Sebab jika belum pernah menyaksikan sendiri noumena atau eksistensi di alam gaib sebagai being yang ada, kesadaran kita masih dikuasai oleh kesadaran akal-budi, kesadarannya hanyalah dalam batas kesadaran jasad/lahiriah semata. Sebaliknya kesadaran batinnya justru menjadi mampet tak bisa berkembang. Padahal untuk memahami tentang kesejatian hidup diperlukan sarana kesadaran batiniah atau rohani.
Bagi pemahaman saya pribadi, adalah sangat tidak relevan suatu anggapan bahwa interaksi dengan leluhur itu dianggap musyrik. Apalagi dianggap non-sense, bagi saya anggapan itu merupakan kemunduran dalam kesadaran batin sekalipun jika di banding zaman animisme dan dinamisme. Menurut pemahaman saya musyrik adalah persoalan dalam hati dan cara berfikir, bukan dalam manifestasi tindakan. Saya tetap percaya bahwa tanpa adanya kuasa dan kehendak Tuhan apalah artinya leluhur. Leluhur sekedar sebagai perantara. Seperti halnya anda mendapatkan rejeki melalui perantara perusahaan tempat anda bekerja. Jika Anda menuhankan perusahaan tempat anda bekerja sama halnya berfikir musrik. Dan orang dungu sekalipun tak akan pernah menuhankan leluhur karena leluhur itu roh (manusia) yang jasadnya telah lebur kembali menjadi tanah. Hubungan dengan leluhur seperti halnya hubungan dengan orang tua, saudara, tetangga, atau kakek-nenek yang masih hidup yang sering kita mintai tolong. Perbedaannya hanyalah sekedar yang satu masih memiliki jasad kotor, sedangkan leluhur sudah meninggalkan jasad kotornya. Bila kita mohon doa restu pada orang hidup yang masih dibungkus jasad kotor mengapa tak dituduh musrik, sedangkan kepada leluhur dianggap musrik. Padahal untuk menjadi musrik itu pun sangat mudah, anda tinggal berfikir saja jika seorang dokter dengan resep obat yang anda minum adalah mutlak menjadi penyembuh penyakit di luar kuasa Tuhan. Atau anda meminta tolong kepada tetangga untuk mbetulin genting bocor, dan orang itu dapat bekerja sendiri tanpa kuasa Tuhan. Saya fikir konsep musyrik adalah cara berfikir orang-orang yang hidup di zaman jahiliah saja. Atau mungkin manusia purba jutaan tahun lalu. Namun apapun alasannya tuduhan musrik menurut saya, merupakan tindakan penjahiliahan manusia.
Kendatipun demikian, jika tidak ada jalinan komunikasi dengan leluhur, para leluhur tak akan mencampuri urusan duniawi anak turunnya. Oleh sebab itu dalam tradisi Jawa begitu kental upaya-upaya menjalin hubungan dengan para leluhurnya sendiri. Misalnya dilakukan ziarah, nyekar, mendoakan, merawat makam, selamatan, kenduri, melestarikan warisan, dan menghayati segenap ajaran-ajarannya yang mengandung nilai luhur filsafat kehidupan.
==========
Saya tegaskan tulisan ini sekedar pemaparan bertujuan senantiasa membangun sikap eling dan waspada. Bila kita memanfaatkannya untuk kebaikan saya optimis akan berguna menjadikan kehidupan lebih baik dan bijaksana. Bila tak dimanfaatkan paling-paling hanya tidak lengkap ilmunya. Peacefully…!
sabdalangit