Jumat, 13 April 2012

AGAMA tanpa ILMU

Tujuan beragama bukanlah kekerasan baik fisik maupun ucapan, namun Keluhuran Akhlaq prilaku yang menjadi tujuannya, adapun ketegasan adalah pada diri sendiri sebagai tanggung jawab individu dengan Tuhan nya, sedangkan pada orang lain sifat nya hanya mengajak mengingatkan dan menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang maruf(kebijakan),’sehingga melahirkan sikap kebajikan, sebab islam tiadalah paksaan, baik memeluk nya, maupun faham dan pendapat.

Berbeda pendapat itu pasti, karena adanya sifat kecenderungan manusia untuk memilih sesuatu yang sesuai dengan dirinya, namun tatkala pendapat dan faham kita berbeda dengan orang lain maka di sanalah kebijakan dan kebajikan akan berbicara. Namun yang harus lebih difahami adalah konteks Islam itu sendiri, yakni islam dalam pengertian konsep dan esensi yang meliputi fitrah setiap insaan, dimana fitrah tsb adalah merupakan landasan dan pondasi untuk menangkap ajaran kebenaran Tuhan sejak manusia pertama Adam, dimana saat itu belum tercetus kata islam, namun Adam telah menerima pengajaran dari Tuhan dalam pertaubatan.

Maka menurut Tarikh pula bahwa kata Islam (muslimun) dicetuskan oleh Nabi Ibrahim as, yang pengertiannya berserah diri, yakni kepada Tuhan Yang Maha Tunggal dengan Nama Tuhan yang berkembang dalam berbagai istilah dan konsonan kata serta bahasa yang berkembang saat itu,Eli….., Elohim, hingga membudaya dimasyarakat bangsa yahudi, kaum Nasrani, dan bangsa Arab Qurays dengan Nama ALLAH, sehingga lafadz Allah itu sendiri menunjukan nama Tuhan.

Namun perlu kita sadari dengan sepenuhnya Bahwa Tuhan Yang Maha Tuggal pun berbeda penyebutan Nama nya ditiap-tiap wilayah dunia ini, termasuk di Nusantara, baik dalam perkembangan agama Hindu Budha, ajaran Kejawen, Kisunda, ataupun melalui kearifan lokal, pada konsep utamanya tetap mengedepankan pemasrahan diri secara totalitas, dan mengutamakan prilaku luhur. Karena sesungguhnya Tuhan itu sendiri tak punya Nama, tak bertempat, tak berupa, tak berwarna (Dzat laysa kamitslihi), melalui Sifat dan Perbuatannya pada kehidupan ini termasuk dalam diri manusia dan seluruh ciptaannya, maka Nama Tuhan itu dapat dikenali dengan Nama dan Panggilan sesuai perkembangan tradisi budaya dan peradaban dimana manusia itu berada, sedang Tuhan itu sendiri tetaplah Tunggal.

Sehingga kita semua dapat memahami salah satu benang merah nya, antara berbagai agama di dunia ini, baik sejak manusia pertama Adam, Ibrahim, dan khataman Nabiyin Muhammad saw yang melengkapi bangunan sebuah agama dan menyempurnakannya, bahwa Beliau Muhammad saw diturunkan untuk meluruskan dan menyempurnakan Keluhuran Akhlaq manusia.

Dalam konsep agama langit mengapa para Nabi turun disana, tentu semua sudah memahami bagai mana kondisi bangsa-bangsa timur tengah dari sejak Adam s/d saat ini, dengan berbagai kerusakan moral, pertikaian yang tak kunjung selesai, bahkan telah terjadi sentimenisme dan fanatisme dalam agama yang berubah menjadi warna dan icon sebuah suku dan bangsa, dimana sejak jaman Bapak para Nabi(Ibrahim as) kata islam/muslimun menunjukan keyakinan sebuah agama telah bergeser dan punah menjadi Nama sebuah tempat dan ciri khas suku bangsa (Yahudi & Nashoro) , sehingga warna agama sudah tak original karena pengaruh nafsu aqal fikiran manusia. Demikian pula Islam kini yang dikenal di Saudi Arabia telah menjadi warna dan Icon dari Risalah Nabi Muhammad saw, padahal kita fahami Nabi Muhammad hanyalah melengkapi dan menyempurnakan ajaran Millah Ibrahim, bahkan menegaskan keyakinan sejak Nabi Adam dimana keyakinan itu belum mempunyai nama.

Seorang yang mengaku beragama tentu harus mengenali perjalanan agama nya, agama bukan saja sebuah aturan hukum yang konkrit, namun disana terdapat nilai spiritual yang diharuskan percaya kepada hal Ghoib (Alladzina yu’minuuna bil ghaybi). Melalui kemampuan spiritual nya diharapkan manusia akan lebih mampu untuk bersikap bijaksana dalam tindakan yang ma’ruf. Karena telah mampu memahami alam kehidupan dalam berbagai dimensi, baik alam makro(jagat raya) maupun alam mikro (manusia) .

Ma’ruf satu akar kata dengan ‘araf, arif, ma’rifah, yang artinya tahu dan mengetahui , namun lebih dari itu ternyata tak cukup hanya mengetahui tapi harus mengenal (Makrifat) yang semua itu ditandai dengan huruf lafadz “AL” (Alif & Lam) yang disebut Isim makrifat. Semua itu dapat dikenali dalam berbagai kata dan kalimat yakni : Al- ISlam, Al-Qurán, Al-Kitab, dan nama Tuhan itu sendiri yang dikenal dengan Al-Illahu(Allah). pada Asmaúl husnaa. Ini semua kita kenal dan fahami dalam tata bahasa Arab(umum) dan Tata Bahasa Alqurán (sastra), sebagai bahasa Ibu, demikian firman Tuhan menjelaskan bahwa : “tidak semata-mata aku turunkan Alqurán dalam Bahasa Arab agar kamu sekalian menggunakan Aqal”.. Ternyata tidaklah mudah memahami Alqurán tidak cukup pindah bahasa saja, selain ilmu tajwid, tafsir, balaghoh, badi, ma‘ani, mantiq, filsafat, tarikh, asbabun nuzul, dan cabang-cabang ilmu lainya, yang tujuannya mencari pendekatan kebenaran melalui aqal fikiran. Lebih dari itu pengetahuan memahami bahasa rumus kodrat alam melalui pengolahan hati nurani, dengan ketajaman rahsa dimana firman Tuhan menegaskan bahwa Alquránnul adzim berada di dalam dada orang-orang yang ber-ilmu….???(Qs)

Sekarang bagai mana persoalannya dengan agama dan keyakinan yang diluar agama langit…?, yang disebut dengan istilah agama bumi yang tumbuh secara alamiah, baik hindu, budha, konghucu, zoroaster, atau yang tumbuh dalam kearifan lokal melalui peradaban tradisi dan budaya seperti ajaran Kejawen, Kisunda, atau agama buhun Sunda Wiwitan di desa kanekes lebak banten jabar, dimana keyakinan mereka masih menganut asal usul agama Nabi Adam.

Siapa Tuhan mereka…?, apakah mereka menemukan Tuhan …?, apakah Tuhannya berbeda…?. Tentu bagi kaum beragama yang jiwa spritual nya cerdas akan mampu memahami itu semua, karena mereka bukan saja berpedoman terhadap dalil yang tersurat dalam Kitab Suci, namun mereka mampu mengetahui dan memahami serta mampu berkomuniskasi melalui dalil-rumus kodrat alam sebagai ayat yang tersirat di alam kehidupan ini dengan sangat jelas dan nyata, tak bergeser sepermilyar milipun sebagai sunatullah dalam kehidupan.

Sebalik nya bagai mana mereka yang tak memahami dan tak mampu berkomunikasi melalui rumus kodrat alam sebagai ayat-ayat tersirat…?, lihat sajalah buktinya, agama dan kitab suci telah menjadi produk aqal fikiran, dan berubah menjadi identitas sebuah wilayah, suku bangsa, kelompok, golongan, aliran, mahzab-mahzab yang beragam dan berserakan bahkan telah merusak tatanan politik, ekonomi, geografis, pertikaian, permusuhan, peperangan, pembantaian, yang semua itu bersumber dari AGAMA tanpa ILMU.

Maka disini Ilmu pengetahuan menjadi peranan yang sangat penting sekali dalam memahami sebuah agama, sebagai mana dalil nya “awalu dini ma’rifatullahi ta’ala” (awal nya agama adalah mengenal Tuhan nya).. Ilmu pengetahuan agama yang diproduk oleh otak, hanyalah merupakan hafalan dan referensi saja, yang masih tertutupi oleh kebodohan, masih perlu dibuktikan di alam raya sebagai ayat-ayat tersirat, melalui kecerdasan spiritual, kemampuan intuisi, ketajaman mata hati, melalui pengolahan jiwa dalam qolbu nya. Sehingga manusia yang cerdas spritual nya(Fathonah) akan mampu bersikap arif bijaksana. Arif karena terjadi proses tahu mengetahui dan mengenal, bijak dalam memutuskan, dan selalu mengutamakan kebajikan dalam perbuatannya.

Bila manusia telah memahami siapa dirinya akan mampu memahami Tuhannya (man arofa nafsahu faqod arofa Robbahu), dan siapa manusia yang telah mengetahui Tuhannya maka dirinya akan merasa bodoh (man arofa Robbahu, faqod jahilan nafsahu). Karena manusia telah saling menyadari bahawa tiap-tiap dirinya terdapat sifat-sifat keagungan Tuhan dalam fitrah nya, yang harus dipelihara dengan akhlaq prilaku yang luhur(habluminanas) dan selalu ditegakan dalam ibadah nya (habluminallah). .

Atas kesadaran itu semua manusia akan selalu memelihara kerukunan dan kedamaian, tiada fanatisme, tiada perdebatan, tiada buruk sangka, tiada mengkafirkan, antara satu agama dan agama lainnya, baik itu agama bumi (sayid Anwar/Sanghyang Nurasa) maupun agama langit(Sayid Anwas/Sanghyang Nurcahya), karena semua nya akan berujung kepada satu muara , yakni keyakinan dan ketauhidan Nabi Syith as (Sanghyang Sita) sebagai ayah nya, dan Putra dari Bapak Adam as.(Sanghyang Adama)

Kewajiban kita semua yang mengaku ber agama adalah menemukan benang merah dari agama langit dan agama bumi, melalui cahaya ilahi dan rahsa sejati, dalam kesempuranaan hidupInsaan kamil hingga mencapai Kamil Mukamil (Mukswa) , dimana semua proses spritual nya telah dibahas panjang lebar di berbagai artikel Blog Nya Mas Sabda Langit.

Mohon maaf dan idzinnya tulisan ini terlelu panjang kepada @Mas Sabda, dan para pembaca, serta maafkan bila terdapat salah kata 
Wassalam,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar