Jumat, 06 April 2012

PUSAKA HASTA BRATA : Sifat Yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin Nusantara (Filosofi Kejawen)


Rahasia Kesuksesan Kepemimpinan Jawa
Pusaka Hasta Brata
(Wahyu Makutha Rama)


Prakata

Dalam wacana falsafah pewayangan Jawa dikenal suatu konsepsi Ilmu Luhur yang menjadi prinsip dasar kepemimpinan a la Jawa. Yakni ilmu “Hasta Brata” atau dikenal pula sebagai Wahyu Makutha Rama yang diterima Raden Arjuna setelah menjalani “laku” prihatin dengan cara tapa brata dan tarak brata (Lihat : serat Laksita Jati). Hasta berarti delapan, brata adalah “laku” atau jalan spiritual/rohani. Hasta Brata maknanya adalah delapan “laku” yang harus ditempuh seseorang bila sedang menjalankan tampuk kepemimpinan. Kedelapan “laku” sebagai personifikasi delapan unsur alamiah yang dijadikan panutan watak (watak wantun) seorang pemimpin. Kedelapan unsur tersebut meliputi delapan karakter unsur-unsur alam yakni : bumi, langit, angin, samudra-air, rembulan, matahari, api, dan bintang. Bila seorang pemimpin bersedia mengadopsi 8 karakter unsur alamiah tersebut, maka ia akan menjadi pemimpin atau raja yang adil, jujur, berwibawa, arif dan bijaksana. Hal ini berlaku pula untuk masyarakat luas, bilamana seseorang dapat mengadopsi ilmu Hasta Brata ia akan menjadi seseorang yang hambeg utama, berwatak mulia, luhur budi pekertinya.

PUSAKA HASTA BRATA (Wahyu Makutha Rama)

Hasta Brata, atau Wahyu Makutha Rama merupakan sebuah ilmu yang termasuk bukan ilmu sembarangan. Artinya memiliki makna yang sangat tinggi yang terkandung di dalam prinsip-prinsip hukum alamiah di dalamnya. Dalam cerita pewayangan wahyu Makutha Rama atau dikenal pula sebagai ilmu Hasta Brata pernah berhasil sukses menghantarkan dua tokoh atau dua orang raja besar titisan Bathara Wisnu, yakni Sri Rama Wijaya duduk sebagai raja di kerajaan Ayodya, dan Sri Bathara Kresna adalah raja yang bertahta di kerajaan Dwarawati. Selanjutnya diceritakan Sri Bathara Kresna membuka rahasia ilmu Hasta Brata kepada Raden Arjuna Wiwaha, sebagai saudara penengah di antara Pendawa Lima. Dikatakan bahwa anasir ke-delapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin negara dan bangsa. Inilah antara lain sebagaimana yang saya maksudkan dengan sinergi dan harmonisasi antara jagad kecil dengan jagad besar. Lihathttp://sabdalangit.wordpress.com/category/falsafah-jawa/menelisik-rahasia-filsafat-kejawen-1/

Kedelapan unsur alam semesta tersebut menggambarkan pula 8 Dewa beserta sifat-sifatnya, seperti di bawah ini ;

Mulat Laku Jantraning Bantala (Bumi ; Bethara Wisnu)
Mulat Laku Jantraning Surya (Matahari ; Bethara Surya)
Mulat Laku Jantraning Kartika (Bintang ; Bethara Ismaya)
Mulat Laku Jantraning Candra (Rembulan ; Bethari Ratih)
Mulat Laku Jantraning Samodra atau Tirta (Bathara Baruna)
Mulat Laku Jantraning Akasa (Langit ; Bathara Indra)
Mulat Laku Jantraning Maruta (Angin ; Bathara Bayu)
Mulat Laku Jantraning Agni (Api ; Bethara Brahma)

1. Watak Bumi (Hambeging Kisma)

Digambarkan watak Bethara Wisnu sebagai karakter bumi yang memiliki sifat kaya akan segalanya dan suka berderma. Pemimpin yang mengikuti sifat bumi adalah seseorang yang memiliki sifat kaya hati. Dalam terminologi Jawa kaya hati disebut sabardrono, ati jembar, legawa dan lembah manah. Rela menghidupi dan menjadi sumber penghidupan seluruh makhluk hidup. Bumi secara alamiah juga berwatak melayani segala yang hidup. Bumi dengan unsur tanahnya bersifat dingin tidak kagetan dan gumunan, sebaliknya bersifat luwes (fleksibel) mudah adaptasi dengan segala macam situasi dan kondisi tanpa harus merubah unsur-unsur tanahnya. Maknanya, sekalipun seseorang bersifat mudah adaptasi atau fleksibel namun tidak mudah dihasut, tak mempan diprovokasi, karena berbekal ketenangan pikir, kebersihan hati, dan kejernihan batinnya dalam menghadapi berbagai macam persoalan dan perubahan.

Bumi juga selalu menempatkan diri berada di bawah menjadi alas pijakan seluruh makhluk. Artinya seseorang yang bersifat bumi akan bersifat rendah hati, namun mampu menjadi tumpuan dan harapan orang banyak. Sifat tanah berlawanan dengan sifat negatif api. Maka tanahlah yang memiliki kemampuan efektif memadamkan api. Api atau nar, merupakan ke-aku-an yang sejatinya adalah “iblis” yakni tiada lain nafsu negatif dalam diri manusia. Seseorang yang bersifat bumi atau tanah, tidak akan lepas kendali mengikuti jejak nafsu negatif.

Bumi dalam hukum adi kodrati memiliki prinsip keseimbangan dan pola-pola hubungan yang harmonis dan sinergis dengan kekuatan manapun. Namun demikian, pada saat tertentu bumi dapat berubah karakter menjadi tegas, lugas dan berwibawa. Bumi dapat melibas kekuatan apapun yang bertentangan dengan hukum-hukum keseimbangan alam. Seseorang yang memiliki watak bumi, dapat juga bersikap sangat tegas, dan mampu menunjukkan kewibawaannya di hadapan para musuh dan lawan-lawannya yang akan mencelakai dirinya. Akan tetapi, bumi tidak pernah melakukan tindakan indisipliner yang bersifat aksioner dan sepihak. Karena ketegasan bumi sebagai bentuk akibat (reaksi) atas segala perilaku disharmoni.

2. Watak Matahari (Hambeging Surya)

Matahari bersifat menerangi. Seseorang yang berwatak matahari akan selalu menjadi penerang di antara sesama sebagaimana watak Bathara Surya. Mampu menyirnakan segala kegelapan dalam kehidupan. Kapanpun dan di manapun ia akan selalu memberikan pencerahan kepada orang lain. Matahari juga menghidupi segala makhluk hidup baik tumbuhan, hewan dan manusia. Manfaat matahari menjadi penghangat suhu agar tidak terjadi kemusnahan massal di muka bumi akbiat kegelapan dan kedinginan. Seseorang yang berwatak matahari, ia menjadi sumber pencerahan bagi kehidupan manusia, serta mampu berperan sebagai penuntun, guru, pelindung sekaligus menjalankan dinamika kehidupan manusia ke arah kemajuan peradaban yang lebih baik. Sikap dan prinsip hidup orang yang berwatak matahari, ia akan konsisten, teguh dalam memegang amanat, ora kagetan (tidak mudah terkaget-kaget), ora gumunan (tidak gampang heran akan hal-hal baru dan asing).

Seseorang watak matahari ibarat perjalanan matahari yang berjalan pelan dalam arti hati-hati tidak terburu-buru (kemrungsung), langkah yang pasti dan konsisten pada orbit yang telah dikodratkan Tuhan (istikomah). Lakuning srengenge, seseorang harus teguh dalam menjaga tanggungjawabnya kepada sesama. Tanggungjawabnya sebagai titah (khalifah) Tuhan, yakni menetapkan segala perbuatan dan tingkah laku diri ke dalam “sifat” Tuhan. Tuhan Maha Mengetahui; maka kita sebagai titah Tuhan hendaknya terus-menerus berusaha mencari ilmu pengetahuan yang seluas-luasnya dan setinggi-tingginya agar ilmu tersebut bermanfaat untuk kemajuan pradaban manusia, menciptakan kebaikan-kebaikan yang konstruktif untuk kemaslahatan semua orang dan menjaga kelestarian alam sekitarnya.

3. Watak Bintang (Hambeg Kartika)

Kartika atau bintang berwatak selalu mapan dan tangguh, walaupun dihempas angin prahara (sindhung riwut) namun tetap teguh dan tidak terombang-ambing. Sebagaimana watak Bathara Ismaya, dalam menghadapi persoalan-persoalan besar tidak akan mundur selangkahpun bagaikan langkahnya Pendawa Lima. Sifat Bethara Ismaya adalah tertata, teratur, dan tertib. Mampu menghibur yang lagi sedih, dan menuntun orang yang sedang mengalami kebingungan, serta menjadi penerang di antara kegelapan. Seseorang yang mengadopsi perilaku bintang, akan memiliki cita-cita, harapan dan target yang tinggi untuk kemakmuran dan kesejahteraan tidak hanya untuk diri sendiri namun juga orang banyak. Maka sebutan sebagai “bintang” selalu dikiaskan dengan suatu pencapaian prestasi yang tinggi. Posisi bintang akan memperindah kegelapan langit di malam hari. Orang yang berwatak bagai bintang akan selalu menunjukkan kualitas dirinya dalam menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan.

4. Watak Rembulan (hambeg Candra)

Candra atau rembulan, berwatak memberikan penerang kepada siapapun yang sedang mengalami kegelapan budi, serta memberikan suasana tentreman pada sesama. Rembulan membuat terang tanpa membuat “panas” suasana (dapat ikannya, tanpa membuat keruh airnya). Langkah rembulan selalu membuat sejuk suasana pergaulan dan tidak merasa diburu-buru oleh keinginannya sendiri (rahsaning karep). Watak rembulan menggambarkan nuansa keindahan spiritual yang mendalam. Selalu eling dan waspadha, selalu mengarahkan perhatian batinnya senantiasa berpegang pada kodrat Ilahi (musyahadah). Lakuning rembulan, seseorang mampu “nggayuh kawicaksananing Gusti” artinya mampu memahami apa yang menjadi kehendak (kebijaksanaan) Hyang Widhi. Setelah memahami, lalu kita ikuti kehendak Tuhan menjadi sebuah “laku tapa ngeli” artinya kita hanyutkan diri pada kehendak Ilahi. Witing klapa salugune wong Jawa, dhasar nyata laku kang prasaja.

Orang yang berwatak rembulan, selalu mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang tampak dalam berbagai “bahasa” alam sebagai pertanda kebesaran Tuhan. Rembulan purnama menjadi bahasa kebesaran Tuhan yang indah sekali. Orang-orang tua dan anak-anak zaman dahulu selalu bersuka ria saat merayakan malam bulan purnama. Karena menyaksikan keindahan malam bulan purnama, bagai membaca “ayat-ayat” Tuhan, mampu menggugah kesadaran batin dan akal-budi manusia akan keagungan Tuhan. Sayang sekali kebiasaan itu sudah dianggap kuno, kalah dengan hiburan zaman modern yang kaya akan tawaran-tawaran hedonis. Bahkan secara agama, kebiasaan merayakan “padhang mbulan“ oleh orang-orang tertentu dianggap sebagai tradisi yang sia-sia karena tidak menimbulkan pahala. Padahal bulan purnama memiliki khasiat lain sebagai media terapi lahir dan batin di saat terjadi berbagai kegelisahan jiwa. Sinar bulan purnama sangat baik untuk mengobati segala macam penyakit dengan cara menjemur diri di bawah sinar bulan purnama. Apalagi disertai dengan semedi sebagai wahana olah raga dan olah rasa. Itulah mengapa leluhur kita zaman dahulu melakukan semadi pada saat datangnya bulan purnama.

5. Watak Samodra

Mengambil sisi positif dari watak samodra. Samodra atau lautan memiliki karakter yang dapat memuat apa saja yang masuk ke dalamnya. Walaupun berupa sampah industri dan rumah tangga, bangkai anjing, bangkai manusia, semua dapat diterima dengan sikap tulus tidak pernah menggerutu. Dalam terminologi Jawa terdapat kalimat permohonan maaf sebagai berikut; nyuwun lumebering sih samodra pangaksami bilih wonten kathahing kalepatan. Watak samudra maknanya adalah hati yang luas, penuh kesabaran, serta siap menerima berbagai keluhan atau mampu menampung beban orang banyak tanpa perasaan keluh kesah. Samodra menggambarkan satu wujud air yang sangat luas, namun di dalamnya menyimpan kekayaan yang sangat bernilai dan bermanfaat untuk kehidupan manusia. Namun samodra tidak pernah pamer potensinya yang bernilai besar kepada orang banyak. Samodra memendam segala kemampuan, kelebihan dan potensinya berada dalam kandungan air yang dalam. Watak samodra menggambarkan jalma tan kena kinira, orang yang tampak bersahaja, tidak norak, tidak dapat disangka-sangka sesungguhnya ia menyimpan potensi yang besar di berbagai bidang, namun tabiatnya sungguh jauh dari sifat takabur, atau sikap menyombongkan diri.

Manusia watak samodra, tidak pernah membeda-bedakan golongan, kelompok, suku, bangsa, dan agama. Semua dipandang sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kesamaan derajat di hadapan Tuhan. Yang mebedakan adalah akal-budinya, keadaan batin, serta perbuatannya terhadap sesama. Dalam bidang keilmuan, watak samodra akan sangat arif dan bijaksana. Sekalipun berilmu tinggi ia sangat merendah bahkan berlagak bodoh. Sebagaimana watak Bima Sena, yang mampu menutupi (tidak pamer) akan ilmunya yang luas, sehingga dapat menyesuaikan diri secara sempurna dengan siapapun dan di manapun ia berada. Satu lagi, watak samodra yang paling dahsyat adalah kemampuannya untuk menetralisir segala yang kotor dan polutan. Limbah tak bertanggungjawab yang dibuang ke laut akan diproses secara-pelan-pelan dan akhirnya racun dan bakteri yang masuk ke laut akan tak berdaya bergulat dengan molekul air samodra yang jenuh akan unsur garam. Orang berwatak samodra akan mampu mengurai dan memberikan jalan penyelesaian berbagai problema yang ia hadapi, maupun problema yang dialami orang lain. Bersediakah Anda berwatak nyegoro ?

Watak Air (Hambeg Tirta)

Mengambil sisi positif dari watak maruta. Tirta atau air berwatak selalu rendah hati dalam perilaku badan (solah) dan perilaku batin (bawa) atau andhap asor. Selalu menempatkan diri pada tempat yang rendah, umpama perilaku dinamakan rendah hati (lembah manah) dan sopan santun (andhap asor). Orang yang berwatak air akan selalu rendah hati, mawas diri, bersikap tenang, mampu membersihkan segala yang kotor. Air selalu mengalir mengikuti lekuk alam yang paling mudah dilalui menuju samodra. Air adalah gambaran kesetiaan manusia pada sesama dan pada kodrat Tuhan. Air tidak pernah melawan kodrat Tuhan dengan menyusuri jalan yang mendaki ke arah gunung, meninggalkan samodra. Orang yang berwatak air, perbuatannya selalu berada pada kehendak Tuhan, jalan yang ditempuh selalu diberkahi Gusti Kang Murbeng Dumadi. Sehingga watak air akan membawa seseorang menempuh jalan kehidupan dengan irama yang paling mudah, dan pada akhirnya akan masuk kepada samodra anugrah Tuhan Yang Maha Besar. Tapi jangan mengikuti watak air bah, tsunami, lampor, rob, yang melawan kodrat Tuhan, perbuatan seseorang yang menerjang wewaler, religi, tatanan sosial, tata krama, hukum positif, serta hukum normatif.

Berwatak air, akan membawa diri kita dalam sikap yang tenang, tak mudah stress, tidak mudah bingung, tidak gampang kagetan, lemah-lembut namun memiliki daya kekuatan yang sangat dahsyat. Sikap kalem tidak bertabiat negatif. Namun hati-hatilah karena orang sering merasa sudah mengikuti watak air, namun tidak menyadari yang diikuti adalah air bah, maknanya adalah watak cenderung membuat kerusakan, diburu-buru, tanpa perhitungan, asal ganyang, buta mata akan resiko, yang penting gasak dulu, urusan dipikir dibelakang (pecicilan/pencilakan/cenanangan/jelalatan).

6. Watak Langit (Hambeg Akasa)

Akasa atau langit. Bersifat melindungi atau mengayomi terhadap seluruh makhluk tanpa pilih kasih, dan memberi keadilan dengan membagi musim di berbagai belahan bumi. Watak langit ini relatif paling sulit diterapkan oleh manusia zaman sekarang, khususnya di bumi nusantara ini. Seorang pemimpin, negarawan, politisi, yang mampu bersikap tanpa pilih kasih dan bersedia mengayomi seluruh makhluk hidup, merupakan tugas dan tanggungjawab yang sangat berat. Apalagi di tengah kondisi politik dan kehidupan bermasyarakat yang cenderung mencari benarnya sendiri, mencari untungnya sendiri, dan mencari menangnya sendiri. Tidak jarang seseorang, atau wakil rakyat yang hanya memperjuangkan kepentingan partainya saja, bukan kepentingan bangsa. Bahkan anggota legislatif, pimpinan masyarakat, para aktor intelektual, pemuka spiritual terkadang tak menyadari sedang mengejar kepentingannya sendiri, atau kepentingan kelompoknya saja. Orang-orang di luar diri atau kelompoknya dianggap tidak penting untuk diayomi. Orang yang berbeda peristilahan, bahasa, budaya, adat istiadat, dan tradisi sekalipun sebangsa dan setanah air, tetap saja diasumsikan sebagai orang yang tak perlu di bela dan dilindungi. Bahkan orang-orang tersebut dianggap sesat, pembual, pembohong, penipu. Prasangka-prasangka negatif ini sangat bertentangan dengan watak akasa. Akasa atau langit akan melihat secara gamblang beragamnya persoalan kehidupan di muka bumi ini. Kewaskitaan akasa seumpama mata satelit, ia akan menyaksikan bahwa ternyata di atas bumi ini terdapat ribuan bahkan jutaan jalan spiritual menuju satu titik yang sama, meskipun jalan yang ditempuh sangat beragam dan berbeda-beda. Maka watak langit tak suka menyalahkan orang lain, tak suka menghujat sesama, tak suka memaki dan mengumpat sekalipun terhadap orang yang memusuhinya. Itulah watak langit, sebagaimana terdapat pada Bethara Indra. Justru terhadap semua manusia apapun watak, dan bagaimanapun sikapnya Bethara Indra akan selalu ngemong sesama, mampu mengelola watak mengalah, mampu menahan diri, meredam emosi, dan membimbing seluruh makhluk hidup dengan cara yang penuh dengan kasih sayang. Dalam manajemen perilaku Jawa, sikap ini selalu diutamakan terutama dalam pasamuan, bebrayan (bermasyarakat), pertemuan, diskusi, dan dalam berbagai pergaulan. Maka watak Jawa menuntut perilaku hambeg utama, lumuh banda, luhur dalam budi pekerti atau solah (perilaku jasad) dan bawa (perilaku batin). Sedangkan terhadap yang masih bodoh, sikapnya tiada pernah mempermalukan dan meremehkan. Itulah watak Bathara Indra, sebagai watak akasa atau langit. Sayang sekali, watak ini sudah terkena polusi “watak asing” yang menjadikan seseorang tidak canggung mencaci orang lain yang berada di luar kelompoknya, dan menyalahkan orang yang tak sepaham dengannya. Salah satu sikap, bila ingin mengaplikasi watak Bathara Indra, bilamana kita berangkat dengan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan yang kita kuasai seumpama sebutir debu yang beterbangan, maka kita tak akan pernah memiliki watak merasa paling benar dan pandai. Karena rahasia ilmu yang terdapat di jagad raya ini adalah sebanyak debu yang ada di seluruh alam semesta.

7. Watak Angin (Hambeg Maruta)
Maruta atau angin atau udara. Mengambil sisi positif dari watak angin Bathara Bayu. Angin memiliki watak selalu menyusup di manapun ada ruang yang hampa, walau sekecil apapun. Angin mengetahui situasi dan kondisi apapun dan bertempat di manapun. Kedatangannya tidak pernah diduga, dan tak dapat dilihat. Seseorang yang berwatak samirana atau angin, maknanya adalah selalu meneliti dan menelusup di mana-mana, untuk mengetahui problem-problem sekecil apapun yang ada di dalam masyarakat, bukan hanya atas dasar kata orang, katanya, konon, jare, ceunah ceuk ceunah. Watak angin mampu merasakan apa yang orang lain rasakan (empati), orang berwatak angin akan mudah simpati dan melakukan empati. Watak angin sangat teliti dan hati-hati, penuh kecermatan, sehingga seorang yang berwatak angin akan mengetahui berbagai persoalan dengan data-data yang cukup valid dan akurat. Sehingga menjadi orang yang dapat dipercaya dan setiap ucapannya dapat dipertanggungjawabkan.

8. Watak Api (Hambeg Agni)

Agni atau api atau dahana. Yang diambil adalah sisi positif dari watak api yakni Bathara Brahma. Watak api adalah mematangkan dan meleburkan segala sesuatu. Seorang yang mengambil watak api akan mampu mengolah semua masalah dan kesulitan menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga. Ia juga bersedia untuk melakukan pencerahan pada sesama yang membutuhkan, murah hati dalam mendidik dan menularkan ilmu pengetahuan kepada orang-orang yang haus akan ilmu. Mematangkan mental, jiwa, batin sesama yang mengalami stagnansi atau kemandegan spiritual. Api tidak akan mau menyala tanpa adanya bahan bakar. Maknanya seseorang tidak akan mencari-cari masalah yangbukan kewenangannya. Dan tidak akan mencampuri urusan dan privasi orang lain yang tidak memerlukan bantuan. Api hanya akan melebur apa saja yang menjadi bahan bakarnya. Seseorang mampu menyelesaikan semua masalah yang menjadi tanggungjawabnya secara adil (mrantasi ing gawe). Serta tanpa membeda-bedakan mana yang mudah diselesaikan (golek penake dewe), dan tidak memilih berdasarkan kasih (pilih sih) , memilih berdasarkan kepentingan pribadinya (golek butuhe dewe).

KEDALAMAN MAKNA HASTA BRATA

Kebulatan dalam menerapkan Hasta Brata dapat menumbuhkan sikap dan tekad bulat menetapkan diri pada kodrat Gusti Kang Akarya Jagad serta menjauhkan diri dari segala sikap berseteru dengan Tuhan, sebaliknya selalu eling dan wasadha, dapat menselaraskan antara ucapan dengan perbuatan. Selalu mengutamakan sikap sabar dalam menghadapi semua kesulitan dan penderitaan, berpendirian teguh tidak terombang-ambing oleh keadaan yang tidak menentu, tidak bersikap gugon tuhon atau anut grubyug (taklid), ela-elu, sikap asal–asalan. Pikiran kritis, hati yang bersih, batin yang selalu bening tidak berprasangka buruk, serta tidak mencari-cari keburukan orang lain. Bersikap legawa dan menerima apa adanya akan hasil akhir (qona’ah) terhadap apa yang diperolehnya. Dengan tetap memiliki semangat juang dan selalu berusaha tanpa kenal putus asa.

Dimilikinya watak, sifat, karakter, tabiat sebagaimana terangkum dalam Hasta Brata yang dapat membuka “olah rasa” untuk selalu eling mampu berkecimpung dalam pergaulan luas dan segala tatanan masyarakat. Pasrah dengan bersandar pada kecermatan fikir dan kebersihan nalar. Untuk mengupayakan jalan hidup agar tidak keluar dari rambu-rambu dalam mewujudkan harapan, serta menciptakan ketenteraman, keselamatan dan kesejahteraan bersama. Demikianlah nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung di dalam falsafah Hasta Brata yang menjadi pusaka pegangan Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bethara Kresna sewaktu jumeneng raja di tlatah Ayodya Pala. Yang diwejangkan juga kepada Raden Arjuna.

Ada tiga nilai terpenting yang dapat dijadikan benang merah :

Pertama; pola kepeminpinan Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bathara Kresna yang menjadi nilai-nilai luhur dan patut menjadi teladan bagi siapapun yang menjadi pemimpin bangsa ini. Beliau berdua mampu memimpin negara dengan adil dan bijaksana, sehingga nama keduanya sangat harum di mata rakyatnya.

Kedua; walaupun bertemakan kepemimpinan, namun nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dapat menjadi teladan siapapun, sekalipun bukan pimpinan negara, karena setiap manusia minimal menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Bila seseorang mampu menghayati dan mengamalkan pusaka Hasta Brata pastilah akan menemukan keharmonisan dalam kehidupan dan pergaulan masyarakat.

Ketiga; bila kita meneladani kedelapan bagian dari jagad raya tersebut berarti kita memasuki wilayah spiritual yang bernilai religiusitas tinggi. Membaca tanda-tanda alam sama halnya memahami kegungan Tuhan. Ibarat membaca ayat-ayat Tuhan yang tersirat dalam bahasa kebijaksanaan kodrat alam. Umpama kalimat tanpa tulisan, papan tulis tanpa ada tulisan. Dapat juga dipersonifikasikan sebagai “tapaking kuntul anglayang”.

MAKNA TAK TERTULIS

Alam semesta beserta seluruh tanda-tandanya sebenarnya merupakan ayat yang tersirat. Jika mau jujur, lihat dan cermatilah kebijaksanaan yang tampak dalam bahasa alam tiada nilai yang bertentangan atau bersinggungan dengan ayat kitab suci manapun. Ini cukup membuktikan bahwa ilmu Tuhan teramat luas tiada batasnya.

Jika anda ingin melihat BUKTI (bukan sekedar tulisan) kebesaran Tuhan, maka lihatlah tanda-tanda menakjubkan yang terdapat dalam ruang-ruang jagad raya. Pergilah ke gunung, ke pantai, pandangi sunrise dan sunset, gelombang laut, resapilah saat hujan dan badai menerpa, guntur dan kilat menyambar, semua merupakan kalimat akan kebesaran Tuhan. Sekali lagi, makna yang tersimpan dalam kalimat tanpa tulis dan kata-kata. Kalimat yang tidak dibatasi oleh bahasa, suku, dan bangsa tertentu. Kata-kata dan huruf yang tidak terkungkung oleh adat istiadat, tradisi, dan ajaran tertentu. Istilah yang tidak tergantung oleh ilmuwan tertentu. Karena hakekatnya adalah kalimat universal, diperuntukkan untuk segala yang hidup, tidak terbatas manusia, namun binatang dan makhluk gaib semuanya. Tidak terbatas hanya untuk pemimpin, kepala suku, rakyat jelata, bangsawan, orang-orang sudra. Itulah bukti nyata kebesaran Tuhan Yang maha Tunggal, Yang lebih dari Maha Besar. Tuhan yang lebih dari Maha Adil dan Bijaksana. Sayang sekali, manusia sering bertengkar gara-gara tak mampu menangkap anugrah perbedaan.

Haruskah manusia dikudeta oleh binatang ? Ataukah manusia harus berguru kepada makhluk hidup lainnya, kepada binatang melata, kepada burung, gajah, atau bahkan kepada makhluk gaib. Karena mereka tidak pernah tercemar oleh polusi nafsu diniawi seperti manusia, sehingga mereka masih memiliki ketajaman instink dalam menangkap bahasa dan kalimat Tuhan. Mengerti bilamana akan terjadi bencana dan musibah alam. Jujur saja kami sering dipaksa harus berguru kepada mereka. Dan saya tidak terlalu berani menyombongkan diri sebagai makhluk paling sempurna di antara semua makhluk Tuhan, hanya gara-gara memiliki akal-budi. Bukankah kita dapat menjadi hina, lebih hina daripada binatang paling hina sekalipun, hanya karena salah kelola akal-budi kita.

BERGURU PADA ORANG BODOH

Orang-orang zaman dulu seringkali dianggap orang bodoh, cubluk, kekolotan, tidak canggih, tradisionil, serta udik. Penilaian subyektif hanya berdasarkan penglihatan mata wadag dan hanya bersadarkan dari omongan ke omongan orang yang sama-sama tidak menilai secara subyektif. Asumsi di atas merupakan hak setiap orang melakukan penilaian. Namun perlu lebih hati-hati dalam melakukan penilaian, sebab jika yang salah kaprah akan menjadi sia-sia bahkan merugikan diri sendiri. Pada saat banyak orang ramai-ramai memberikan asumsi negatif akan tradisi kuno, saat itu pula kami mencoba berfikir positif, dan bertanya-tanya mengapa penilaian negatif itu muncul. Bagaimana seandainya saya ada di pihak yang dinilai negatif.

Leluhur bangsa di masa lalu sejak 2500 tahun SM telah melakukan kegiatan spiritual. Perjalanan spiritualnya semakin berkembang seiring perjalanan waktu ke waktu. Pada intinya, leluhur masa lalu sangat menganjurkan agar manusia mengamati tanda-tanda kebesaran Tuhan dengan mencermati alam semesta. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai “ngelmu titen”. Ilmu untuk mencermati segenap tanda-tanda alam sebagai wujud bahasa dan kalimat Tuhan yang tak tertulis. Ngelmu titen diperoleh setelah seseorang rajin mencermati dan membaca tanda-tanda alam. Dengan melakukan semadi di gunung, laut, tempat-tempat sepi. Bukan saja mata wadag yang akan menyaksikan keagungan Tuhan, lebih dari itu, mata batin akan turut menjadi saksi kebesaran Tuhan yang lebih dahsyat lagi, setelah merasakan getaran energi alam, atau daya magis (metafisik) di balik semua unsur-unsur bumi dalam Hasta Brata.

Singkat kata, dengan melakukan perenungan-perenungan, semedi, penghayatan di tempat-tempat tertentu, yang sunyi, indah dan menakjubkan akhirnya dapat menggugah getaran jiwa, dengan membuka kesadaran batin kita sehingga dapat menciptakan harmonisasi atau sinergi antara energi yang ada dalam “jagad kecil” (diri manusia) dengan “jagad besar” (alam semesta). Bila keselarasan tersebut telah tercipta maka akan membuka pemahaman akan “jati diri Tuhan”, sehingga muncul daya kekuatan “gaib” yang mendorong kita untuk semakin dekat kepada Tuhan. Berkaitan dengan ilmu Hasta Brata, manusia Jawa masa lampau, memiliki ilmu kepemimpinan yang secara kualitas lebih baik dan lebih canggih daripada pemimpin zaman modern saat ini. Dalam artian kemampuannya untuk merumuskan setiap fenomena yang terjadi dan mendiagnosa setiap permasalahan secara tepat, kemudian membuat rencana problem solving kemudian melakukan manuver-manuver yang bersifat konkrit. Meliputi berbagai bidang kehidupan, sosial, politik, ekonomi, hukum. Bidang-bidang kehidupan dapat dideskripsikan secara cermat dan tepat sehingga tidak melakukan kesalahan dalam membuat suatu kebijakan. Pemimpin zaman dulu, memperoleh legitimasi dan kelanggengan kekuasaannya bukan saja karena alur genealogis atau faktor keturunan, lebih penting dari itu kelanggengan kepemimpinan atas dasar sistem kepemimpinan yang bijaksana, adil, dan benar-benar mensejahterakan rakyatnya, sehingga kekuasaannya bertumpu pada power of law kekuasaan dengan legitimasi hukum formal dan pengakuan dari rakyat. Lain halnya dengan kebanyakan pola kepemimpinan zaman sekarang, yang disibukkan manuver-manuver politik mempertahankan kekuasaan, bukan konsentrasi mensejahterakan masyarakat. Sehingga legitimasi politiknya terbalik menjadi law of the power, ia menciptakan “hukum” demi mempertahankan kekuasaannya. Kelemahan paling besar pemimpin zaman sekarang adalah kurang mampu berkomunikasi dengan bahasa alam yang mengisyaratkan pesan-pesan penting dan gaib, apa yang harus dilakukan saat ini dan masa mendatang. Mungkinkah para pemimpin terlalu meremehkan bahasa alam ? Sementara Tuhan mengirimkan isyaratNya melalui bahasa alam itu. Maka terjadilah deadlock, yakni kemacetan komunikasi antara manusia dengan Tuhannya.
By: sabdalangit

Selain Hastabrata, juga ada ajaran Laku Pitu, yang isinya tidak jauh beda :
1. Laku Eka
Dalam laku awal, pemimpin harus mempunyai niat yang tulus dalam mengayomi rakyatnya dan open-minded. Dalam laku awal, pemimpin berlaku seperti matahari.
2. Laku Dwi
Dalam laku dwi, pemimpin harus bisa menjaga diri dan bertindak profesional. Dalam laku dwi, pemimpin berlaku seperti bulan.
3. Laku Tri
Dalam laku tri, pemimpin harus dapat menegakkan hukum, tanpa pandang bulu. Dalam laku tri, pemimpin berlaku seperti api.
4. Laku Catur
Dalam laku catur, pemimpin harus dapat memakmurkan rakyatnya. Dalam laku catur, pemimpin berlaku seperti bumi.
5. Laku Panca
Dalam laku panca, pemimpin harus mempunyai sikap yang jelas dan tegas. Dalam laku panca ini, pemimpin berlaku seperti angin dan petir.
6. Laku Sad
Dalam laku sad, pemimpin harus taat dalam peribadahannya. Dalam laku sad, pemimpin berlaku seperti bintang.
7. Laku Sapta
Dalam laku sapta, pemimpin harus dapat berbuat adil terhadap rakyatnya. Dalam laku sapta, pemimpin berlaku seperti air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar