Sabtu, 14 April 2012

Pemahaman Yang Dinamis Mengenai Alqu'an Dan Al hadist

Keyakinan, akidah, dan pemikiran kita itu sesungguhnya dinamis. Cara kita memahami sebuah ayat Allah saja bisa terus berkembang: Misalkan, dulu saya memahami bahwa “Inna diena indallahil Islam” itu sebagai petunjuk bahwa yang diterima di sisi Allah itu hanyalah orang yang beragama Islam…dengan kata lain, mereka yang Hindu, Budha, Kristen, dll…bagaimanapun baiknya akhlak mereka..karena akidah mereka salah, mereka pasti masuk neraka, tak diterima di sisi Allah. Namun…seiring dengan perjalanan waktu, saya menyadari bahwa pemahaman seperti itu sungguh naif dan gegabah. Kini, saya memahami ayat itu dengan cara yang berbeda: Bahwa sesungguhnya, sikap beragama yang diterima oleh Allah itu, adalah sikap beragama yang penuh ketundukan kepada Kebenaran (Al Haq) dan sekaligus membawa keselamatan (baik kepada diri sendiri, kepada orang lain, juga kepada lingkungan hidup kita..). Setiap orang yang beragama dengan cara demikian, tak peduli dia itu secara lahiriah adalah Budha, Kristen, atau Kejawen, pasti bisa sampai kepada Sangkan paraning dumadi (yaitu Gusti Allah). Apakah pemahaman seperti saya ini sesuatu yang bid’ah atau mengada-ada? Sebetulnya, kalau Kita pelajari, orang seperti Nurcholis Madjid, A. Syafii Maarif, Gus Dur, memahami seperti itu. Termasuk, yang punya pemahaman seperti itu adalah para ilmuwan Islam klasik seperti Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Mansyur Al Halaj, dll.

Saya beriman sepenuhnya kepada Allah, kepada Al Haq, kepada Al-Latief…Dzat yang Menggenggam Jiwa saya. dan saya berusaha tunduk patuh sepenuhnya kepada Dia, Namun, ekspresi atau manifestasi keimanan itu yang mungkin berbeda satu sama lain. Misalnya begini,tunduk kepada Allah itu, tak sama maknanya dengan meyakini atau menerima begitu saja ayat-ayat dalam Al Qur’an secara harfiyah. Allah yang Ahad itu tak bisa disekutukan, termasuk dengan Al Qur’an. Al Qur’an itu hanyalah salah satu tanda-tanda kebenaran, tapi bukan Al-Haq itu sendiri. Sementara itu, sesungguhnya di jagad raya ini bertebaran tanda-tanda kebenaran yang lain, dan itu mencerminkan sifat Allah sebagai Dzat Yang Maha Agung….yang Maha Besar…yang sungguh lisan dan pikiran ini tak bisa membatasi-Nya.

Saya telah belajar, bahwa menerima makna harfiyah Al Qur’an, kadang memang bisa menyesatkan…Pada faktanya…..sebagai contoh bahwa kadang Al Qur’an justru “menyesatkan” adalah dengan melihat perilaku mereka yang melakukan tindakan teror…seperti Imam Samudera, Amrozi Cs….atau mereka yang membakar Masjid milik Jemaat Ahmadiah baik di Indonesia maupun di Pakistan….itu merasa meyakini Al Quran dengan sepenuh hati. Mereka mengklaim tindakan mereka didasarkan pada Al Quran….dan faktanya, memang banyak ayat Al Qur’an yang secara harfiyah memuliakan jihad melawan kaum kafir…(dan mereka dengan sederhana memaknai bahwa merekalah yang mu’min, dan orang2 di luar mereka, khususnya yang beragama lain itu sebagai kafir…dan karena itu halal diperangi), apakah mereka itu benar-benar mengimani Al Qur'an? Atau mereka itu salah dalam memahami Al Qur’an? Jika mereka benar, apa argumentasinya? Jika Kita katakan mereka salah, atas dasar apa pula kita bisa mengatakan bahwa pemahaman mereka itu salah? yang jelas mereka itu hanya memahami makna harfiyahnya alqur'an. 

Jika memang Al Qur’an dan Al Hadits itu pasti membawa pada kebenaran…tentulah umat islam sendiri tak akan berpecah belah seperti sekarang dan terlibat dalam pertikaian yang panjang. Coba Kita lihat, bagaimanakah sosok seorang Murtadha Muthahari di mata Kaum Wahabi? Seseorang yang oleh sebuah kelompok dipandang mulia, oleh kelompok lain bisa dipandang hina…padahal kedua kelompok itu sama-sama mengaku kembali kepada Al Qur’an dan Al hadits.

Dan sebetulnya, kita bisa melihat fenomena yang aneh semenjak masa awal sejarah Islam. Coba beri saya penjelasan…bagaimana mungkin seorang menantu nabi sekaligus sepupu terkasih nabi Muhammad, yaitu Imam Ali, bisa berperang dengan Ummul Mu’minin Aisyah…dalam perang Jamal? Dan bacalah dalam berbagai kitab sejarah, betapa perang itu demikian sengit, memakan korban banyak sekali, dan tak sedikit manusia ternistakan. Menurut kita, siapa di antara mereka yang bertikai itu yang mengikuti Al Qur’an dan Al hadits? Salah satunya? Yang mana? Atau dua-duanya? Jika dua-duanya, maka kita bisa “meneladani” mereka: ikhtilaf dalam pemahaman terhadap Al Qur’an dan Al Hadits “harus” diselesaikan lewat peperangan!!

Akhirnya, saya berkesimpulan, bahwa pemahaman kita terhadap Al Qur’an dan Al hadits, kadang bisa menjadi ilusi, sesuatu yang menyesatkan, membuat kita justru bisa makin jauh dari kebenaran itu sendiri. Mengapa itu terjadi? Karena kita yang mencoba memahaminya ternyata masih kotor hatinya…masih diperangkap oleh hawa nafsu…belum suci!

Karena itu…..sungguh bijaksana jika kita terus berupaya mensucikan diri kita, memperbaiki laku lampah kita, sehingga pada akhirnya, pemahaman kita terhadap semua ayat Tuhan itu bisa kian mendekati kebenaran yang sejati. Nah, selama proses perjalanan kita ke arah itu, sungguh bijaksana juga jika kita menjadi tawadhu…dan bisa menghargai proses perjalanan setiap orang, termasuk jalan yang ditempuh setiap orang.

Akhir kita, saya bersaksi bahwa Cahaya di Atas Cahaya itu hanyalah Gusti Allah itu sendiri, Tuhan itu sendiri (dan Dia juga yang disebut dengan Hyang Widhi, God, atau apapun…)
Sementara Al Qur’an dan al Hadits…tak lebih dari petunjuk terhadap kebenaran. Setara dengan dedaunan….gunung..lautan…termasuk setara dengan segenap kebenaran yang muncul dari hati nurani siapapun!

Sekali lagi….Al Qur’an dan Al Hadits itu bagi saya tak lebih dari dilalah atau petunjuk untuk menemukan kebenaran (Al Haq) tapi bukan Al Haq itu sendiri.

1 komentar:

  1. Subhanallah...Walhamdulilllah..Walailahailallah..Wallahu..Akbar

    BalasHapus